Selasa, 23 April 2013

PROFIL PENDERITA KANKER KOLON DAN REKTUM DI RSUP HASAN SADIKIN BANDUNG (PROFILE OF COLO-RECTAL CANCER AT HASAN SADIKIN HOSPITAL BANDUNG)


Mochamad Aleq Sander, dr., M.Kes., SpB, FinaCS
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Bendungan Sutami 188A Malang 65145
e-mail: aleq.sander@yahoo.com
blog: bedahunmuh.wordpress.com
ABSTRAK
Karsinoma kolorektal adalah keganasan ketiga terbanyak di dunia dan penyebab kematian kedua terbanyak di Amerika Serikat. Di Indonesia jumlah penderita kanker kolorektal menempati urutan ke-10 (2,75%) setelah kanker lain (leher rahim, payudara, kelenjar getah bening, kulit, nasofaring, ovarium, jaringan lunak, dan tiroid). Kunci utama keberhasilan penanganan karsinoma ini adalah ditemukannya kanker dalam stadium dini, sehingga terapi kuratif dapat dilakukan. Namun sayang sebagian besar penderita di Indonesia berobat dalam stadium lanjut sehingga angka survival rendah. Karsinoma kolorektal memerlukan penanganan multimodalitas dan belum terdapat keseragaman secara nasional dalam pendekatan terapinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui epidemiologi, gejala klinis, cara diagnosis, macam terapi, dan prognosis penderita kanker kolon dan rektum serta didesain sebagai penelitian deskriptif retrospektif. Teknik sampling menggunakan total sampling yaitu penderita kanker kolon dan rektum di poliklinik Bedah Digestif RSUP Hasan Sadikin Bandung dari Januari tahun 2005 samapai Desember 2008. Ada 163 sample yang eligible, dimana yang berusia di bawah 40 tahun 19 (11,7%) dan di atas 55 tahun 61 (37,4%). Pasien wanita lebih banyak yaitu 89 (54,6%). Lokasi tumor di rektum paling banyak yaitu 115 (70,6%). Stadium Dukes B2 adalah terbanyak yaitu 33 (20,2%). Gejala klinis terbanyak adalah BAB darah dan lendir yaitu 76 (46,6%). Adeno Ca Well Differentiated merupakan histologi yang paling sering ditemukan yaitu 93 (57,1%). Penatalaksanaan yang sering dilakukan untuk kanker rektum adalah miles procedure yaitu 21 (12,9%) sedangkan untuk kanker kolon dilakukan hemicolectomy dan colostomy sebanyak 19 (11,7%). Prognosis didapatkan sembuh 90 (55,2%), tidak/belum sembuh 24 (14,7%), tidak kontrol 38 (23,3%), dan yang kontrol ditempat lain 2 (1,2%). Kesimpulan penelitian adalah kanker kolon dan rektum banyak ditemukan pada usia dekade ke-5. Lokasi terbanyak adalah rektum dengan tipe histologi adenocarcinoma. Stadium Dukes B2 dan gejala BAB darah menduduki porsi terbanyak. Miles procedure adalah prosedur terapi yang paling banyak diterapkan untuk kanker rektum.
Kata kunci: kanker kolon dan rektum
ABSTRACT
Colo-rectal cancer represent one of the most third malignancy in the world and second caused of death in US. In Indonesia amount of colo-rectal cancer was sequence to 10 (2.75%) after others cancer (cervix, breast, lymph, skin, nasofaring, ovarium, soft tissue, and thyroid). Key success in treatment of this cancer was that they found in early stage and followed curative therapy. Unfortunately in Indonesia they came after advanced stage and they had low survival. Colo-rectal cancer need multimodalities and in Indonesia not yet found uniformity in approach of therapy. The aim of research is to know the epidemiology, clinical symptom, diagnosis, therapy, prognosis. Descriptive study with retrospective design. Total sampling was all outpatient in digestive department of Hasan Sadikin Hospital of Bandung with colo-rectal cancer from January 2005 up to December 2008. 163 eligible respondens who had age below 40 yo 19 (11,7%) and above 55 yo 61 (37,4%). Female 89 (54,6%). Rectum was the most location that is 115 (70.6%). A lot of stadium was Dukes B2 that is 33 (20,2%). The most clinical manifestation was defecate blood that is 76 (46,6%). Adenocarcinoma well differentiated was the most common type of histology that is 93 (57,1%). Miles Procedure was 21 (12.9%) and hemicolectomy and colostomy were 19 (11,7%). The prognosis was healing 90 (55,2%), not yet healed 24 (14,7%), not control 38 (23,3%), and who control in the other place 2 (1,2%). Conclusion: mostly of colo-rectal cancer was found in fifth decade. A lot of cancer location was rectum and adenocarcinoma as a type of histology. Dukes B2 and defecate blood had most proportion, blood excision biopsy, and followed by radical mastectomy were the most therapy procedure. Miles procedure was the most common therapy in rectal cancer.
Keywords: colo-rectal cancer
LATAR BELAKANG
Kanker kolorektal adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas yang berasal atau tumbuh di dalam struktur saluran usus besar (kolon) dan atau rektum. Umumnya, karsinoma kolon jarang ditemukan sebelum umur 40 tahun kecuali bila mereka merupakan komplikasi dari penyakit kolitis ulseratif, kolitis granulomatosa, poliposis multipel familial, sindrom Gardner, dan sindrom Turcot. Pada populasi umum, risiko terjadinya kanker kolorektal secara nyata akan meningkat pada umur 50 tahun dan menjadi dua kali lipat lebih besar pada setiap dekade berikutnya. Karsinoma rektum lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada wanita, tetapi tidak ada perbedaan jenis kelamin yang mencolok pada karsinoma di daerah kolon yang lain. Dari kajian epidemiologi, disimpulkan ada pengaruh lingkungan yang sangat besar, khususnya diet, memainkan peranan yang nyata pada penyebab dari kanker kolon, yang peranannya lebih besar daripada pada kanker rektum. Faktor keturunan dapat juga berperan sebagai pencetus timbulnya kanker jenis ini. Sebagaimana pengaruh genetik dari sindrom karsinoma poliposis yang dapat diterangkan menurut hukum Mendel, maka predisposisi genetik pada kanker dapat timbul pada populasi umum. Sanak keluarga derajat satu (first
degree relatives) dari pasien yang menderita karsinoma kolorektal mempunyai risiko tiga kali lipat lebih besar daripada kontrol (Sjamsuhidayat et al, 2006).
Etiologi
Perkembangan kanker kolorektal merupakan interaksi antara faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan multipel beraksi terhadap predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang menjadi kanker kolorektal (Robbins, 2005). Terdapat 3 kelompok kanker kolorektal berdasarkan perkembangannya yaitu: 1) kelompok yang diturunkan (inherited) yang mencakup kurang dari 10% dari kasus kanker kolorektal; 2) kelompok sporadik, yang mencakup sekitar 70%; 3) kelompok familial, mencakup 20%.
Kelompok diturunkan adalah mereka yang dilahirkan sudah dengan mutasi germline (germline mutation), pada salah satu allele dan terjadi mutasi somatik pada allele yang lain. Contohnya adalah FAP (familial adenomatous polyposis) dan HNPCC (hereditery non-polyposis colorectal cancer). HNPCC terdapat pada sekitar 5% dari kanker kolorektal. Kelompok sporadik membutuhkan dua mutasi somatik, satu pada masing masing allele-nya (Schwartz, 1995). Terdapat dua model perjalanan perkembangan kanker kolorektal (karsinogenesis) yaitu LOH (loss of heterozygocity) dan RER (replication error). Model LOH mencakup mutasi tumor gen supresor meliputi gen APC, DCC, dan p53 serta aktifasi onkogen yaitu K-ras. Model ini contohnya adalah perkembangan polip adenoma menjadi karsinoma. Sementara model RER karena adanya mutasi gen hMSH2, hMLH1, hPMS1, dan hPMS2. Model terakhir ini contohnya adalah perkembangan HNPCC. Pada bentuk sporadik, 80% berkembang lewat model LOH dan 20% berkembang lewat model RER (Robbins, 2005).
Deteksi Dini Dan Diagnosis
Deteksi dini (skrining) dan diagnosis pada pengelolaan kanker kolorektal memiliki peranan penting di dalam memperoleh hasil yang optimal yaitu meningkatnya survival dan menurunnya tingkat morbiditas dan mortalitas para penderita kanker kolorektal.
Deteksi dini adalah investigasi pada individu asimtomatik yang bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan terapi kuratif.
Indikasi, secara umum deteksi dini dilakukan pada dua kelompok yaitu populasi umum dan kelompok risiko tinggi. Deteksi dini pada populasi dilakukan kepada individu yang berusia di atas 40 tahun. Deteksi dini dilakukan pula pada kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi menderita kanker kolorektal yaitu: 1) penderita yang telah menderita kolitis ulserativa atau Crohn > 10 tahun; 2) penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal; 3) individu dengan adanya riwayat keluarga penderita kanker kolorektal. Individu dengan riwayat keluarga memiliki risiko menderita kanker kolorektal 5 kali lebih tinggi dari pada individu pada kelompok usia yang sama tanpa riwayat penyakit tersebut. Terdapat dua kelompok pada individu dengan keluarga penderita kanker kolorektal, yaitu: 1) individu yang memiliki riwayat keluarga dengan hereditery non-polyposis
colorectal cancer (HNPCC); 2) individu yang didiagnosis secara klinis menderita familial adenomatous polyposis (FAP).
Macam-macam deteksi dini pada kanker kolorektal adalah sebagai berikut:
1. Deteksi dini pada populasi.
a. Test darah tersamar pada feses (fecal occult blood test/FOBT) setiap tahun.
FOBT menurunkan tingkat mortalitas kanker kolorektal sebesar 16% dan juga menurunkan insidens kanker kolorektal, disebabkan oleh deteksi dan polipektomi pada adenoma yang ditemukan.
b. Sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi.
Kebanyakan kanker kolorektal berasal dari polip adenoma sehingga setiap lesi harus diangkat. Tindakan polipektomi telah terbukti secara bermakna menurunkan risiko kanker kolorektal.
2. Deteksi dini pada kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi.
a. Penderita yang telah menderita colitis ulserativa atau Crohn >10 tahun.
Apabila telah berjalan selama 20 tahun atau ditemukan adanya displasia, maka kolonoskopi harus dilakukan setiap tahun. Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal: 1) penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma harus selalu ditawarkan untuk menjalani follow-up kolonoskopi; 2) apabila ditemukan polip berukuran < 1 cm pada follow-up maka selanjutnya dilakukan kolonoskopi setiap 5 tahun; 3) apabila ditemukan lebih dari 3 adenoma, atau paling sedikit satu berukuran > 1 cm, atau adanya displasia berat, maka dilakukan kolonoskopi setiap 3 tahun. Apabila pada kolonoskopi selanjutnya tidak ditemukan polip, maka kolonoskopi dapat dihentikan.
b. Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal.
Meliputi: 1) penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma harus selalu ditawarkan untuk menjalani follow-up kolonoskopi; 2) apabila ditemukan polip berukuran <1cm pada follow-up maka selanjutnya dilakukan kolonoskopi setiap 5 tahun; 3) apabila ditemukan lebih dari 3 adenoma, atau paling sedikit satu berukutan > 1 cm, atau adanya displasia berat, maka dilakukan kolonoskopi setiap 3 tahun. Apabila pada kolonoskopi selanjutnya tidak ditemukan polip, maka kolonoskopi dapat dihentikan.
c. Individu dengan adanya riwayat keluarga penderita kanker kolorektal.
d. Individu berisiko tinggi menderita FAP berdasarkan riwayat katuarga dengan FAP.
Meliputi: 1) bila fasilitas tersedia dilakukan pemeriksaan genetik adanya mutasi gen APC; 2) ditawarkan kolonoskopi setiap dua tahun dan sigmoidoskopi setiap tahun (Sjamsuhidayat et al, 2006).
Stadium
Sistim klasifikasi yang digunakan adalah sistim Astler-Coller yang diperkenalkan pada tahun 1954 dan kemudian direvisi tahun 1978, berdasarkan atas kedalaman invasi tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, dan adanya metastasis jauh (Sjamsuhidayat et al, 2006) yaitu: 1) stadium A:
hanya terbatas pada lapisan mukosa; 2) stadium B: sudah masuk dalam lapisan muskularis propria (B1), masuk dalam lapisan subserosa (B2), masuk sampai ke struktur-struktur yang berdekatan (B3); 3) stadium C: bila sudah ada keterlibatan kelenjar (Cl sampai C3); 4) stadium D : bila sudah ada metastasis baik secara limfatik atau hematogen .
Pada tahun 1987 American joint committee on cancer dan international union against cancer memperkenalkan sistim klasifikasi TNM yaitu: 1) ekstensi tumor (T) dibagi atas T1 s/d T4; 2) adanya keterlibatan kelenjar (N) dibagi atas: N1 bila < 4 kelenjar, N2 bila > 4 kelenjar, N3 bila terdapat kelenjar sepanjang pembuluh darah; 3) adanya metastasis jauh (M1). Adapun sistim TNM dapat dijabarkan sebagai berikut (Schwartz, 1995):
Tumor Primer (T)
Tx : Tumor primer tak dapat ditentukan
To : Tidak ditemukan tumor primer
Tis : Carcinoma in situ: invasi intraepithelial ke lamina propria
T1 : Tumor menyebuk submucosa
T2 : Tumor menyebuk muscularis propria
T3 : Tumor menembus muscularis propria ke subserosa atau perikolika atau jaringan perirektal
T4 : Tumor menginfiltrasi organ atau struktur atau ke peritoneum visceral
Kelenjar Limfe Regional (N)
Nx : KGB Regional tidak dapat ditentukan
No : Tak terdapat keterlibatan KGB regional
N1 : Metastasis ke 1-3 KGB regional
N2 : Metastasis ke 4 atau lebih KGB regional
Metastasis jauh (M)
Mx : Tidak dapat ditentukan adanya metastasis jauh
Mo : Tidak ditemukan metastasis jauh
M1 : Ditemukan metastasis jauh
Definisi Stadium
Stadium 0 Tis, No, Mo
Stadium I T1, No, Mo
T2, No, Mo
Stadium 11 T3, No, Mo
T4, No, Mo
Stadium III Semua T, N1, Mo
Sernua T, N2, Mo
Stadium IV Semua T, Semua N, M1
Derajat Histopatologi
Dukes membedakannya menjadi 5 derajat (Sjamsuhidayat et al, 2006) yaitu: 1) derajat I: tumor menyerupai adenoma disertai proliferasi aktif epitel, tapi dapat dikenali sebagai malignansi karena adanya infiltrasi ke lapisan muskularis mukosa; 2) derajat II: tumor dengan sel-sel karsinoma yang ramai berkelompok tetapi tetap terbatas dalam bentuk yang cukup rata pada satu atau 2 lapisan lebih dalam di sekitar ruang glandula. Terlihat adanya nukleus yang berwarna dan mitosis yang tidak teratur; 3) derajat III: sel-sel lebih sedikit berdiferensiasi dan diatur dalam suatu cincin yang tidak rata, seringkali 2-3 baris lebih dalam di sekitar ruang glomerular. Gambaran mitosis tidak sebanyak pada derajat II; 4) derajat IV: sel-sel tumor makin anaplasia dan tidak membentuk struktur glandular sama sekali tetapi meliputi satu per satu jaringan atau dalam kelompok kecil yang tidak teratur.
METODE
Penelitian ini adalah deskriptif retrospektif yang dilakukan di Sub Bagian Bedah Digestiv RSUP Hasan Sadikin Bandung dengan teknik sampling menggunakan total sampling dari status rekam medik penderita kanker kolorektal di poliklinik Bedah Digestiv dari tanggal 1 Januari 2003 sampai 31 Desember 2008 yang telah terdiagnosis pasti dengan hasil PA sebanyak 163 penderita dengan karakteristik responden sebagai berikut: 1) pasien kanker kolorektal dengan stadium sesuai sistem TNM/AJCC 1987 atau Klasifikasi Duke modifikasi Astler Cohler 1978; 2) pasien kanker kolorektal yang diagnosis pastinya ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi; 3) pasien kanker kolorektal yang di work-up sejak awal di RSUP Hasan Sadikin Bandung; 4) status lengkap berada dibagian rekam medik poli rawat jalan RSUP Hasan Sadikin Bandung.
Data yang diperoleh dari status rekam medik dideskripsikan dan kemudian dianalisis serta dihitung persentasenya. Data yang telah dihitung selanjutnya disusun ke dalam grafik. Hasil analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara tabulasi dengan tabel deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Karakteristik Responden Berdasar Usia
umur respondensumur respondens767266636057545148454238352622Percent8642011111111312127444443242454644312211211111112
Gambar 1. Karakteristik responden berdasar usia
Pada gambar 1 didapatkan kanker kolorektal terbanyak pada usia antara 41-55 tahun yaitu 83
orang (50,9%).
Gambar 2. Karakteristik responden berdasar range usia
Pada gambar 2 didapatkan usia rata-rata kanker kolorektal adalah 51,5 tahun dan paling
muda 22 tahun dan paling tua 78 tahun dengan standar deviasi (SD) ± 10,87 (gambar 1).
Karakteristik Responden Berdasar Jenis Kelamin
Gambar 3. Karakteristik responden berdasar jenis kelamin
Pada gambar 3 didapatkan penderita kanker kolorektal terbanyak adalah wanita yaitu 89
orang (54,6%).
range usia responden
range usia responden
<40 41-55 >56
Percent
60
50
40
30
20
10
0
37
51
12
jenis kelamin respondens
jenis kelamin respondens
pria wani ta
Percent
60
50
40
30
20
10
0
55
45
Karakteristik Responden Berdasar Diagnosis Klinis
Gambar 4. Karakteristik responden berdasar diagnosis klinis
Pada gambar 4 didapatkan diagnosis terbanyak kanker kolorektal adalah kanker rektum 115
kasus (70,6%).
Karakteristik Responden Berdasar Stadium Klinis
Gambar 5. Karakteristik responden berdasar stadium klinis
Pada gambar 5 didapatkan stadium klinis yang terbanyak ditemukan adalah Dukes B2 yaitu
33 (20,2%).
diagnosa klinis
diagnosa klinis
Ca Colon Ca Rectosigmoid Ca rectum
Percent
80
60
40
20
0
71
26
stadium kanker kolorektal
stadium kanker kolorektal
DukesB3
Dukes D
Dukes C3
Dukes C2
Dukes C1
Dukes B3
Dukes B2
Dukes B1
Dukes A
Percent
30
20
10
0
Karakteristik Responden Berdasar Gejala Klinis
Gambar 6. Karakteristik responden berdasar gejala klinis
Pada gambar 6 didapatkan gejala klinis yang terbanyak ditemukan adalah BAB berdarah dan
lendir yaitu 76 kasus (46,6%).
Karakteristik Responden Berdasar Gambaran PA
Gambar 7. Karakteristik responden berdasar gambaran PA
Pada gambar 7 didapatkan sebagian besar penderita kanker kolorektal pasca biopsi didapatkan
gambaran histopatologi berupa adenocarcinoma well diff sebanyak 93 kasus (57,1%).
gejala klinis
gejala klinis
BAB berdarah dan len
tidak bisa BAB
BAB tai kambing
mencret
Percent
50
40
30
20
10
0
47
14
25
14
hasil patologi anatomi
hasil patologi anatomi
Signet ring cell Ca
Adeno musinous Ca
Adeno Ca wel l diff
Adeno Ca poorl y diff
Adeno Ca moderately
Percent
70
60
50
40
30
20
10
0
8
57
9
23
prosedur terapi
prosedur terapi
Subtotal colectomy,c
Reseksi anterior Miles prosedur,radio
Miles prosedur,chemo
Miles prosedur, chem
Hemicolectomy,radioT
Hemicolectomy Hartman prosedur,rad
Hartman prosedur,che
Colostomy,radioTx,ch
Colostomy,chemoTx,ra
Colostomy
Percent
14
12
10
8
6
4
2
0
2
5
1
2
7
9
13
3
12
1
5
7
4
6
3
12
5
Karakteristik Responden Berdasar Prosedur Terapi
Gambar 8. Karakteristik responden berdasar prosedur terapi
Pada gambar 8 didapatkan prosedur terapi yang sering dilakukan adalah prosedur Miles yaitu
21 kasus (12,9%).
Karakteristik Responden Berdasar Prognosis
Gambar 9. Karakteristik responden berdasar prognosis
Pada gambar 9 didapatkan sebagian besar sample yang diteliti yaitu 38 kasus (23,3%) tidak
melakukan kontrol ke poli digestiv.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) jumlah kanker kolorektal
cenderung meningkat setiap tahunnya dalam kurun waktu 3 tahun; 2) kanker kolorektal banyak
ditemukan pada golongan usia antara 41-55 tahun; 3) sebagian besar penderita kanker kolorektal
adalah wanita; 4) kanker rektum merupakan diagnosis klinis terbanyak sedangkan gambaran PA
adenocarcinoma well differentiated merupakan hasil biopsi terbanyak; 5) stadium klinis B2 dan C2
menjadi stadium terbanyak; 6) gejala klinis berupa berak darah dan berlendir merupakan gejala yang
follow up
follow up
Os berunding dgn kel
follow up di tmp lai
keluarga menolak fol
sembuh tidak/belum sembuh
tidak follow up
Percent
60
50
40
30
20
10
0
55
15
23
paling sering dijumpai pada kanker kolorektal; 7) prosedur terapi yang sering diterapkan adalah operasi Miles atau reseksi abdominoperineal dengan membuat kolostomi secara permanen, hal ini disebabkan sebagian besar kasus yang dijumpai adalah kanker rektum 1/3 distal.
Saran yang dapat diberikan yaitu: 1) perlu upaya pemberian informasi yang jelas dan mudah dimengerti kepada penderita kanker kolorektal mengenai: faktor risiko terjadinya penyakit kanker kolorektal, gejala-gejala awal penyakit kanker kolorektal sehingga diharapkan penderita datang berobat masih stadium dini sehingga terapi kuratif bisa dilakukan, pentingnya pemeriksaan saringan pada siapa saja terutama yang berusia diatas 40 tahun ataupun yang mempunyai riwayat salah satu atau lebih anggota keluarganya pernah mengidap kanker kolorektal, pentingnya melakukan kontrol rutin guna penyembuhan yang lengkap; 2) perlunya mengadakan sistem pencatatan rekam medis yang lebih lengkap dan konsisten guna kepentingan pihak rumah sakit, penderita kanker kolorektal, dan untuk penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidayat; Karnadihardja, W; Rudiman, R; Lukman, K; Ruchiyat, Y; Prabani, C. 2006. Panduan Pengelolaan Adenokarsinoma Kolorektal. PT. Roche Indonesia.
Robbins. 2005. Pathologic Basis of Disease.7th Edition. International Edition. Pennsylvania: Elsevier.
Schwartz. 1995. Principles of Surgery. 8th Edition. The United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.


HUBUNGAN MOBILISASI DINI DENGAN KECEPATAN KESEMBUHAN LUKA PERINEUM PADA IBU POST PARTUM DI SELURUH WILAYAH KERJA PUSKESMAS SINGOSARI KABUPATEN MALANG
(IN ALL THE RELATION OF EARLY AMBULATION WITH PERINEUM INJURY RECOVERY AT POST PARTUM MOTHER WORK AREAS OF SINGOSARI LOCAL CLINIC OF MALANG REGENCY)
Dina Dewi SLI1*), Retty Ratnawati2), Intan Berlian3)
1,2,3)Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Jl. Veteran Malang 65145
*)e-mail: dinadewi@ub.ac.id
ABSTRAK
Mobilisasi dini merupakan kebijakan untuk secepat mungkin membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan berjalan. Mobilisasi dini bisa mencegah aliran darah terhambat. Hambatan aliran darah bisa menyebabkan terjadinya thrombosis vena dalam dan bisa menyebabkan infeksi. Mobilisasi dini faktor lain dari luar selain perawatan luka. Faktor dari dalam yaitu budaya makan atau pola konsumsi. Juga mempengaruhi cepat lambatnya kesembuhan luka perineum. Penelitian bertujuan untuk mengetahui perbandingan mobilisasi dini 2-4 jam dan 6-8 jam dengan kecepatan kesembuhan luka perineum pada ibu post partum di wilayah kerja Puskesmas Singosari Kabupaten Malang. Metode penelitian menggunakan desain komparatif dengan pendekatan kohort. Sample dipilih dengan tehnik purposive sampling sebanyak 16 responden ibu post partum dengan luka perineum grade 2. Analisis data menggunakan fisher. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai signifikan sebesar 1,000 dimana lebih besar daripada alfa = 0,05. Dari hasil analisa data disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara mobilisasi dini 2-4 jam dengan 6-8 jam.
Kata kunci: mobilisasi dini, luka perineum, ibu post partum
ABSTRACT
Early ambulation is policy to guide the patients out of their bed and guide to walk as son as possible. Early ambulation able to avoid blood flow obstruction. The blood flow obstruction able to cause interior thrombosis vena and able to cause infection. Early ambulation is external factor beside injury treatment. While the internal factor is eat pattern or consumption pattern. Also influence the recovery sped of perineum injury. The research aimed at knowing the early mobilization 2-4 hours and 6-8 hours with recovery speed of perineum injury of post partum mother in the work areas of Singosari local clinic of Malang Regency. The research method was comparative design with cohort approach. Samples were selected by purposive sampling of 16 respondents of post partum mother with perineum
2
injury of grade 2 and independent variable that were measured was early ambulation and dependent variable was recovery speed of perineum injury. Data analysis by fisher. The results showed that significant value of 1,000 that higher than alfa = 0,05. From data analysis it can be concluded that it means no differences between early mobilization 2-4 hours with 6-8 hours.
Keywords: early ambulation, perineum injury, post partum mother
LATAR BELAKANG
Mobilisasi dini adalah kebijakan untuk secepat mungkin membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan membimbing secepat mungkin untuk berjalan (Manuaba, 2004). Menurut Kasdu (2003) akibat tidak melakukan mobilisasi dini dapat mengakibatkan peningkatan suhu tubuh karena adanya involusi uterus yang tidak baik sehingga sisa darah tidak dapat dikeluarkan dan menyebabkan infeksi. Salah satu tanda infeksi adalah peningkatan suhu tubuh, perdarahan abnormal. Dengan mobilisasi dini kontraksi uterus akan baik sehingga fundus uterus akan keras, maka resiko perdarahan abnormal dapat dihindarkan, karena kontraksi membentuk penyempitan pembuluh darah yang terbuka. Mobilisasi dini tidak hanya mempercepat kesembuhan luka perineum tetapi juga memulihkan kondisi tubuh ibu jika dilakukan dengan benar dan tepat. Mobilisasi dini atau gerakan sesegera mungkin bisa mencegah aliran darah terhambat. Hambatan aliran darah bisa menyebabkan terjadinya thrombosis vena dalam (deep vein trombosis) dan menyebabkan infeksi. Mobilisasi dini merupakan factor eksternal lain selain perawatan luka. Sedangkan factor internal yaitu budaya makan atau pola konsumsi memengaruhi kecepatan kesembuhan luka perineum (Manuaba, 2004). Fenomena yang ada di RB Devita Tulungagung sudah diterapkan mobilisasi dini akan tetapi dilakukan setelah kondisi pasien sehat yaitu 2-4 jam dan bisa ditingkatkan menjadi 6-8 jam post partum.
Pada paska persalinan dapat terjadi masalah kesehatan seperti infeksi nifas yang dapat menyebabkan kematian. Menurut WHO di seluruh dunia setiap menit seorang perempuan meninggal karena komplikasi terkait dengan kehamilan dan nifas. Dengan kata lain 1.400 perempuan meninggal setiap hari atau lebih dari 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan, persalinan dan nifas (Riswandi, 2005). Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tertinggi di negara ASEAN. Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia dan negara lainnya di dunia hampir sama yaitu akibat perdarahan (28%), eklampsia (24%) dan infeksi (11%). Sementara penyebab tidak langsung kematian ibu antara lain kurang energi kronis pada kehamilan (37%) dan anemia pada kehamilan (40%). AKI di Indonesia tergolong masih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN yaitu sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut 3-6 kali dari AKI negara ASEAN dan 50 kali AKI negara maju, dan salah satunya disebabkan karena infeksi dengan proporsi 20-30% (Hanifa, 2005). Dari kasus infeksi ini 25-55% disebabkan oleh infeksi jalan lahir (Rustam, 1998). Berdasarkan studi pendahuluan pada ibu post partum fisiologis di RB Devita Tulungagung terdapat 20 persalinan normal dan yang mengalami rupture perineum spontan didapatkan 50% dan yang melakukan mobilisasi dini terdapat 65% dan yang tidak melakukan 35%. Berdasarkan derajat
3
tingkatan luka, robekan derajat satu 30%, derajat dua 70%, sedangkan derajat tiga dan empat tidak ditemukan. dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nurdiana dengan jumlah pasien 30 ibu post operasi secar didapatkan hasil 77% yang melakukan mobilisasi dini proses penyembuhan lukanya cepat dan 23% yang tidak melakukan mobilisasi dini proses penyembuhan lukanya lambat.
Persalinan sering mengakibatkan perlukaan jalan lahir, luka biasanya ringan tetapi kadang-kadang terjadi luka yang luas dan berbahaya. Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga terjadi pada persalinan berikutnya (Wiknjosastro, 2005). Luka perineum didefinisikan sebagai adanya robekan pada jalan rahim maupun karena episotomi pada saat melahirkan janin (Wiknjosastro, 2005). Menurut derajat atau tingkatan luka robekan perineum terbagi menjadi 4 derajat. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat atau karena kepala janin lebih besar daripada sirkumferensia suboksiputbregmatika sehingga anak dilahirkan dengan episiotomi (Sarwono, 2006). Perlukaan perineum terjadi pada tempat dimana muka janin menghadap. Robekan perineum dapat mengakibatkan pula robekan pararektal sehingga rectum terlepas dari jaringan sekitarnya. Diagnosis rupture perineum ditegakkan dengan pemeriksaan langsung. Pada tempat terjadinya perlukaan akan timbul perdarahan yang bersifat arterial atau yang merembes. Pada perlukaan tingkat I, bila hanya ada luka lecet, tidak diperlukan penjahitan. Pada perlukaan tingkat II, hendaknya luka dijahit kembali secara cermat untuk mencegah terjadinya ruang mati. Adanya ruangan mati antar jahitan memudahkan tertimbunnya darah beku dan terjadinya radang. Penanganan perineum tingkat III memerlukan teknis penjahitan khusus. Perlukaan perineum pada waktu persalinan sebenarnya dapat dicegah sekecil mungkin. Perlukaan ini umumnya terjadi pada saat lahirnya kepala. Untuk mencegah terjadinya perlukaan perineum yang tidak terarah dengan bentuk yang tidak teratur, dianjurkan untuk melakukan episotomi (Sarwono, 1999). Factor penyebab terjadinya infeksi nifas bisa berasal dari perlukaan pada jalan lahir yang merupakan media yang baik untuk berkembangnya kuman. Hal ini diakibatkan oleh daya tahan tubuh ibu yang rendah setelah melahirkan, perawatan yang kurang baik dan kebersihan yang kurang terjaga (BKKBN, 2004). Kematian ibu dapat disebabkan oleh masalah pengetahuan ibu tentang pra dan pasca persalinan, factor tempat pelayanan kesehatan, factor gizi, sepsis puerperalis, perdarahan, gestosis, perlukaan jalan lahir dan tromboembolismes (Wiknjosastro, 2005). Sedangkan menurut Manuaba (2009) penyebab kematian terjadi terutama karena perdarahan, infeksi, dan keracunan hamil, serta terlambatnya sistem rujukan. Komplikasi luka perineum adalah terjadinya perdarahan robekan jalan lahir, terjadinya prolaps uteri dan infeksi luka. Munculnya infeksi pada perineum dapat merambat pada saluran kandung kemih atau pada jalan lahir. Penanganan komplikasi yang lambat dapat menyebabkan terjadinya kematian ibu post partum mengingat kondisi ibu post partum masih lemah (Suwiyoga, 2004). Menurut Christina dalam Krisnawati (2007) mobilisasi dini pada ibu post partum pelaksanaannya tergantung pada kondisi penderita, apabila penderita melakukan persalinan dengan normal, bisa dilakukan setelah 2-4 jam setelah persalinan.
4
Menurut Hamilton (2008) ibu yang melahirkan secara normal bisa melakukan mobilisasi 6 jam sesudah bersalin dan 8 jam setelah bersalin pada ibu yang menjalani cesar. Gerakan mobilisasi dini waktu pelaksanaannya dilakukan secara teratur, intensif dan makin lama makin bagus, apabila kondisi ibu dalam keadaan baik maka pelaksanaannya dapat dilakukan 3-4 kali dalam sehari, misalnya pada saat bangun tidur pagi, siang dan malam. Latihan mobilisasi ini bermanfaat untuk mempercepat kesembuhan luka, melancarkan pengeluaran lochea, mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli, sirkulasi darah normal dan mempercepat pemulihan kekuatan ibu (Mochtar, 2005). Pada ibu post partum diharapkan tidak perlu khawatir dengan adanya jahitan karena mobilisasi dini baik buat jahitan, agar tidak terjadi pembengkakan akibat tersumbatnya pembuluh darah dan untuk ibu post partum dengan operasi sesar dalam melakukan mobilisasinya lebih lamban dan perlu mencermati serta memahami bahwa mobilisasi dini jangan dilakukan apabila kondisi ibu post partum masih lemah atau memiliki penyakit jantung, tetapi mobilisasi yang terlambat dilakukan bisa menyebabkan gangguan fungsi organ tubuh, aliran darah tersumbat, serta fungsi otot (Imam, 2006).
Salah satu solusi yaitu dengan memberikan mobilisasi dini selama 2-4 jam dan 6-8 jam untuk mempercepat kesembuhan luka perineum grade 2 pada ibu post partum.
METODE
Jenis penelitian adalah penelitian noneksperimen dengan desain observasional menggunakan pendekatan komparatif. Sample penelitian sebanyak 16 responden dengan luka episiotomy yang diambil dengan tehnik purposive sampling sesuai dengan karakteristik responden yaitu: 1) ibu dalam 2-4 jam dan 6-8 jam post partum sampai 7 hari masa nifas dengan luka perineum grade 2 dengan kriteria ibu post partum dengan riwayat persalinan normal tanpa tindakan dengan luka perineum grade 2; 2) ibu post partum dengan riwayat persalinan normal tidak dengan komplikasi; 3) ibu yang kooperatif pada saat dilakukan tindakan dan bersedia menjadi responden. Observasi proses penyembuah luka dilakukan selama 7 hari. Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Singosari Kabupaten Malang.
Instrumen yang digunakan adalah kuisioner dan lembar observasi untuk mengetahui proses penyembuahan luka pirenium. Data yang didapat dilakukan uji analisis statistik menggunakan fisher exact probability test dengan nilai signifikan lebih besar dari alfa = 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Karakteristik Responden Berdasar Mengonsumsi Obat, Pantangan Makanan, Personal hygiene
Tabel 1. Karakteristik responden berdasar mengonsumsi obat, pantangan makanan, personal hygiene
No
Mengonsumsi Obat
n
%
1.
Rutin
13
81,3
5
2.
Tidak rutin
Total
3
16
18,8
100
No
Pantangan Makanan
n
%
1.
2.
Memilik
Tidak memiliki
Total
5
11
16
31,3
68,8
100
No
Personal Hygiene
n
%
1.
2.
3.
Melakukan dengan benar
Kurang melakukan
Salah melakukan
Total
10
2
4
16
62,5
12,5
25
100
Dari tabel 1 didapatkan responden yang rutin dalam mengonsumsi obat sebanyak 13 orang (81,3%). Pada responden yang tidak memiliki pantangan makanan sebanyak 11 orang (68,8%). Pada responden yang melakukan personal hygiene dengan kategori benar sebanyak 10 orang (62,5%).
Distribusi Frekuensi Berdasar Kecepatan Kesembuhan Luka
Tabel 2. Distribusi frekuensi kecepatan penyembuhan luka
Luka berwarna kemerahan
Luka mulai kering dan menutup
Terdapat jaringan parut
Luka menutup dengan baik
Kecepatan penyembuhan luka
Freku
ensi
Persen
tase
Tidak
(hari ke-3)
Ya
(hari ke-3)
Tidak (hari ke-7)
Ya
(hari ke-7)
Cepat
10
62,5
Ya
(hari ke-3)
Tidak
(hari ke-3)
Tidak
(hari ke-7)
Tidak
(hari ke-7)
Lambat
6
37,5
Total
16
100
Dari tabel 2 didapatkan frekuensi kecepatan kesembuhan luka perineum sebagian besar termasuk dalam kategori cepat bila pada hari ke-3 luka mulai mengering dan menutup dan pada hari ke-7 luka menutup dengan baik yaitu sebanyak 10 orang (62,5%).
Distribusi Silang Waktu Mobilisasi Dini Dengan Kecepatan Kesembuhan Luka
Tabel 3. Distribusi silang waktu mobilisasi dini dengan kecepatan kesembuhan luka
Waktu mobilisasi
Kecepatan kesembuhan luka
Total
%
Cepat
Lambat
N
%
N
%
6
2-4 jam
4
25,0
2
12,5
6
37,5
6-8 jam
6
37,5
4
25,0
10
62,5
Total
10
62,5
6
37,5
16
100
Dari tabel 3 didapatkan distribusi silang waktu mobilisasi 2-4 jam dengan kriteria kecepatan penyembuhan luka yang cepat sebanyak 4 orang (25%). Responden yang termasuk dalam kategori waktu mobilisasi 6-8 jam dengan kriteria kecepatan penyembuhan luka yang cepat sebanyak 6 orang (37,5%).
Perbandingan Waktu Mobilisasi Dini Dengan Kecepatan Kesembuhan Luka
Tabel 4. Perbandingan waktu mobilisasi dini dengan kecepatan kesembuhan luka
Variabel
Sig 2 tailed
Keterangan
Waktu mobilisasi dini dengan kecepatan kesembuhan luka
1,000
Tidak ada perbedaan
Dari tabel 4 didapatkan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji fisher terhadap perbandingan antara waktu mobilisasi dini 2-4 jam dan 6-8 jam dengan kecepatan kesembuhan luka dengan taraf signifikansi 5% dengan nilai sig. 2 tailed sebesar 1,000 dimana lebih besar daripada alfa = 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan antara waktu mobilisasi dini 2-4 dan 6-8 jam dengan kecepatan kesembuhan luka perineum.
Pembahasan
Karakteristik Responden Berdasar Mengonsumsi Obat, Pantangan Makanan, Personal hygiene
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa dari 16 responden yang rutin dalam mengonsumsi obat sebanyak 13 orang (81,3%). Responden yang tidak memiliki pantangan makanan sebanyak 11 orang (68,8%). Responden yang melakukan personal hygiene dengan kategori benar sebanyak 10 orang (62,5%). Dari penelitian diketahui bahwa sebagian kecil ibu nifas dengan luka perineum grade 2 yang melakukan mobilisasi dini adalah kesembuhan lukanya lambat yaitu 6 orang (37,5%), hal ini dikarenakan selain ibu tidak mengonsumsi obat secara teratur juga karena cara menjaga kebersihan diri yang salah terutama pada daerah luka perineum. Ini menunjukkan bahwa selain mobilisasi dini ada faktor lain yang ikut andil dalam kecepatan kesembuhan luka seperti yang diungkapkan oleh Mochtar (1998) bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kecepatan kesembuhan luka perineum adalah dari faktor makanan atau nutrisi yang dikonsumsi dan dari perawatan luka selain early ambulation.
Frekuensi Berdasar Kecepatan Kesembuhan Luka
7
Luka perineum dikatakan cepat sembuh apabila luka pada hari ke-3 mulai mengering dan mulai menutup, serta pada hari ke-7 luka sudah menutup dengan baik disertai adanya jaringan parut. Sedangkan luka perineum yang dikatakan lambat sembuh apabila luka pada hari ke-3 belum mengering dan belum menutup akan tetapi baru hari ke-7 luka mulai menutup. Dalam kategori cepat-lambat kesembuhan luka ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa proses penyembuhan luka berlangsung selama 6-7 hari (Barbara, 1996).
Distribusi Silang Waktu Mobilisasi Dini Dengan Kecepatan Kesembuhan Luka
Dari 16 responden yang termasuk dalam kategori yang melakukan mobilisasi 2-4 jam sebanyak 6 orang dengan kriteria kecepatan penyembuhan luka yang cepat terdapat sebanyak 4 orang (25%) dan sisanya termasuk kriteria lambat sebanyak 2 orang (12,5%). Responden yang termasuk dalam kategori waktu mobilisasi 6-8 jam sebanyak 10 orang dengan kriteria kecepatan penyembuhan luka yang lambat sebanyak 6 orang (37,5%) dan sisanya termasuk kriteria lambat sebanyak 4 orang (25%).
Keterlambatan ibu pasca melahirkan disebabkan faktor kelelahan setelah proses melahirkan, terlebih bila persalinan berlangsung lama, sehingga ibu harus cukup beristirahat, dimana ia harus tidur terlentang selama 8 jam post partum untuk mencegah perdarahan post partum. Kemudian ibu boleh miring ke kiri dan ke kanan untuk mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli. Pada hari kedua telah dapat duduk dan hari ketiga telah dapat berjalan. Mobilisasi ini tidak mutlak, bervariasi tergantung pada adanya komplikasi persalinan, nifas dan sembuhnya luka (Kasdu, 2003). Fase immediate post partum juga menjadi faktor penghambat selama proses mobilisasi dini, hal ini disebabkan faktor kelelahan ibu dikarenakan berkurangnya energi selama proses persalinan dan membutuhkan waktu untuk mengembalikan tenaga selama 24 jam pertama (Muchtar, 1998).
Perbandingan Waktu Mobilisasi Dini Dengan Kecepatan Kesembuhan Luka Perineum
Hasil uji fisher dengan nilai signifikansi sebesar 1,000 (alfa = 0,05) bahwa tidak ada perbedaan antara waktu mobilisasi dini dengan kecepatan penyembuhan luka perineum. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa waktu mobilisasi dini dilakukan 2-4 jam post partum (Magna, 2001) dan waktu mobilisasi 6-8 jam post partum (Hamilton, 2008). Dari kedua teori tersebut tidak ada perbedan kecepatan kesembuhan luka perineum dikarenakan semua responden melakukan mobilisasi dini secara bervariasi yaitu ada yang melakukan mobilisasi dengan cepat dan ada yang lambat. Faktor yang paling berpengaruh dari kecepatan kesembuhan luka perineum adalah factor personal hygiene, makanan dan obat. Selain itu responden ada yang merasa kesulitan atau mengalami keterbatasan dalam melakukan gerakan dan merasa takut terhadap nyeri yang ditimbulkan pada luka jahitannya. Responden juga melakukan mobilisasi dini secara bertahap selama 3-4 kali sehari.
KESIMPULAN DAN SARAN
8
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) ibu yang melakukan mobilisasi dini masing-masing sebagian besar selama 2-4 jam dan 6-8 jam; 2) kecepatan penyembuhan luka perineum yang melakukan mobilisasi dini selama 2-4 jam dan selama 6-8 jam masing-masing sebagian besar dalam kategori cepat; 3) berdasarkan hasil uji fisher didapatkan bahwa tidak ada perbedaan antara waktu mobilisasi dini selama 2-4 jam dan selama 6-8 jam dengan kecepatan penyembuhan luka perineum.
Saran yang dapat direkomendasikan yaitu: hendaknya disediakan brosur tentang mobilisasi dini dan memberikan motivasi kepada ibu yang berada dalam stadium 2 jam post partum agar melakukan mobilisasi dini untuk mengurangi terjadinya trombosis pada vena, pada saat pemeriksaan dan pengawasan selama 2 jam post partum dan memberikan penyuluhan tentang tata cara rawat luka yang benar serta cara personal hygiene yang benar dan menghindari tidak berpantang terhadap makanan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 2002 . Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Bobak, L., Jensen. 2005 . Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Chapman, V. 2006. Asuhan Kebidanan Persalinan & Kelahiran. Jakarta: EGC.
Depkes RI . 2002. Asuhan Persalinan Normal. Edisi I. Jakarta: JNPK-KR.
Depkes RI. 2007. Perawatan Kehamilan (ANC). http://www.depkes.com.id. Diakses pada 4 Juni 2010.
Ferrer, H. 2001. Perawatan Maternitas. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Forte, R., William & Oxorn, H. 2010. Ilmu kebidanan: Patologi dan Fisiologi Persalainan.
Halminton .2008. Masa Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Ibrahim, C. 1997. Perawatan Kebidanan. Jilid I. Jakarta: Bhratara.
Ibrahim, C. 1997. Perawatan Kebidanan. Jilid III. Jakarta: Bhratara.
Imam. 2006. Antenatal Care. http://www.info-wikipedia.com. Diakses pada 25 Juni 2010.
Long, B.C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran.
Magna. 2001. Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Jakarta: EGC.
Manuaba, I.B.G. 1999. Reproduksi Wanita. Jakarta: Arcan.
Manuaba. 1998 . Ilmu Kebidanan. Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Manuaba, I.B.G. 2004. Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC.
Manuaba, I.A.C. 2009. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: EGC.
Manjoer, A. 2000. Ilmu Kebidanan dan Kandungan Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta: Media Aescuilipius. FKUI.
9
Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri. Jilid I. Jakarta: EGC.
Notoatmojo, S. 2002. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Nursalam . 2003 . Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Pitt, B. 1994. Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: EGC.
Saunders. 1992. Wound Healing Biochemical and Clinical Aspects. Philadelphia.
Sarwono, P. 2001. Buku Acuan Nasional. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Sarwono, P. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP-SP.
Sarwono, P. 2006. Perawatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: YBP-SP.
Sediaoetama, A., Djaeni. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa Dan Profesi Jilid. Jakarta: Dian Rakyat.
Wiknjosastro, H. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: YBP-SP.

PERBEDAAN PENGETAHUAN SUAMI TENTANG ASI EKSKLUSIF DAN DUKUNGAN SUAMI ANTARA IBU YANG MEMBERIKAN DAN YANG TIDAK MEMBERIKAN ASI EKSLUSIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANDANWANGI BLIMBING MALANG (THE DIFFERENCE OF HUSBAND’S KNOWLEDGE ABOUT EXCLUSIVE BREASTFEEDING AND THEIR SUPPORT AMONG WOMEN WHO FEED THEIR BABIES WITH EXCLUSIVE BREASTFEEDING AND THOSE WHO DO NOT ON PANDANWANGI LOCAL GOVERNMENT CLINIC REGION BLIMBING MALANG)


Laily Yuliatun1*), Maghfiratul Laily2)
1)Jurusan Keperawatan Fakultas kedokteran Universitas Brawijaya
2)Mahasiswa Jurusan Keperawatan Fakultas kedokteran Universitas Brawijaya
Jl. Veteran malang 65145
*)e-mail: laily.arifin@yahoo.co.id
ABSTRAK
Keberhasilan pemberian ASI eksklusif dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal antara lain tingkat pengetahuan suami tentang ASI eksklusif dan dukungan suami bagi ibu menyusui. Penelitian bertujuan untuk membuktikan perbedaan pengetahuan suami tentang ASI eksklusif dan dukungan suami antara ibu yang memberikan dengan yang tidak memberikan ASI eksklusif. Jenis penelitian termasuk cross sectional study dengan populasi penelitian yaitu pasangan suami istri yang memiliki bayi yang berusia 6-7 bulan. Sample didapat dengan cara purposive sampling sebanyak 38 responden. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dengan jenis pertanyaan tertutup. Uji analisis statistik menggunakan mann whitney. Hasil penelitian menunjukkan 81% responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang ASI eksklusif dan 45% responden cukup mendukung ibu untuk menyusui. Pengetahuan suami tentang ASI eksklusif diperoleh nilai signifikansi p = 0,037 (p < 0,05), sedangkan untuk dukungan suami diperoleh nilai signifikansi p = 0,001 (p < 0,05). Ada perbedaan pengetahuan suami tentang ASI eksklusif dan dukungan suami antara ibu yang memberikan dengan ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif. Disarankan untuk dilaksanakan kerjasama lintas sektoral dalam perancangan program yang dapat menunjang edukasi mengenai pentingnya ASI eksklusif bagi bayi pada ibu hamil dan keluarganya, terutama suami. Serta bagi penelitian selanjutnya agar meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif.
Kata kunci : pengetahuan, dukungan, suami, ASI eksklusif
2
ABSTRACT
The success of exclusive breastfeeding supplies influenced by internal and external factors. Father’s knowledge level about exclusive breastfeeding and father’s support for breastfeeding mother are include in external factor. This research intends to prove that there is a difference of husband’s knowledge about exclusive breastfeeding and their support among women who feed their babies with exclusive breastfeeding and those who do not. This research is a crossectional study with population of this research is married couples who have baby ages 6-7 months. The number of sample in this research is 38 respondents chosen with purposive sampling technique. Research data is collected by questionnaire with close ended question type, and then analized with mann whitney test. The result of this research showed that 81% respondents have good knowledge level about exclusive breastfeeding and 45% respondents are adequatly support mother to breastfeed. Result of knowledge level produces a significance by p = 0,037 (p < 0,05), whereas for father’s support produces a significance by p = 0,001 (p < 0,05). From both of sinificance value, it may be concluded that Ho is rejected. So there is a difference of husband’s knowledge about exclusive breastfeeding and their support among women who feed their babies with exclusive breastfeeding and those who do not. Suggestion from this research is to performed collaboration to design programs that can raise education about importance of exclusive breasfeeding to pregnant mother dan her family, particularly her husband. And for the next research to analized the other factors that related to exclusive breastfeeding supplies.
Keywords: knowledge, support, father, exclusive breastfeeding
LATAR BELAKANG
Keberhasilan pemberian ASI eksklusif dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal antara lain tingkat pengetahuan suami tentang ASI eksklusif dan dukungan suami bagi ibu menyusui.
UNICEF menyatakan 30.000 kematian bayi di Indonesia dan 10 juta kematian anak balita di dunia tiap tahun bisa dicegah melalui pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan sejak kelahirannya. Akan tetapi tingkat kesadaran masyarakat untuk memberikan ASI kepada bayinya masih sangat memprihatinkan. Survei demografi kesehatan Indonesia pada 2002 menunjukkan pemberian ASI pada bayi satu jam setelah kelahiran menurun dari 8% menjadi 3,7%. Pemberian ASI ekslusif selama enam bulan menurun dari 42,2% menjadi 39,5%, sedangkan penggunaan susu formula meningkat tiga kali lipat menjadi 32,5% (Nuryati, 2008).
ASI eksklusif adalah perilaku yang hanya memberikan ASI saja kepada bayi sampai berumur enam bulan tanpa makanan dan minuman ain kecuali obat (Baskoro, 2008). ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi usia 0-6 bulan karena mengandung semua bahan yang diperlukan oleh bayi. Bayi baru lahir bisa memenuhi unsur penting untuk kekebalannya hanya dari ASI (Wong, 1995). Proses menyusui seharusnya menjadi hubungan segitiga antara ibu, bayi, dan ayah. Peran yang bisa dilakukan ayah misalnya jika bayi ingin menyusu, ayah yang menggendong untuk diserahkan kepada ibu.
3
Pedersen dalam literatur families as learning environtment for children, mengemukakan bahwa kemampuan seorang ibu menyusui anaknya juga sangat dipengaruhi oleh perilaku suaminya. Dan banyak penelitian terbaru lainnya yang menemukan bahwa kehadiran dan dukungan penuh cinta dari suami sangat membantu istrinya untuk menjalankan perannya sebagai ibu (Simarmata, 2009). Banyaknya jumlah ASI yang diproduksi seorang ibu sangat bergantung pada kondisi emosi ibu. Kinerja myoepithel dalam memompa ASI keluar sangat tergantung pada hormon oksitosin yang dikirim oleh otak. Sedangkan oksitosin bisa keluar jika ibu merasa tenang dan disayang oleh suami serta mendapat dukungan dari orang-orang di sekelilingnya (Roesli, 2004).
Solusi yang dapat diberikan terkait dengan pengetahuan dan dukungan suami tentang ASI eksklusif yaitu kerjasama lintas sektoral dalam perancangan program yang dapat menunjang edukasi mengenai pentingnya ASI eksklusif bagi bayi pada ibu hamil dan keluarganya terutama suami.
METODE
Jenis penelitian ini merupakan observasional analitik dengan metode cross sectional. Sample diambil dengan cara purposive sampling dengan jumlah sample sebanyak 38 pasangan suami-istri yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu: 19 pasangan suami-istri yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya dan 19 pasangan suami-istri yang tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Karakteristik responden meliputi: 1) pasangan suami-istri yang mempunyai bayi berusia 6-7 bulan; 2) pasangan suami-istri yang tidak buta huruf; 3) pasangan suami-istri yang bersedia menjadi responden; 4) pasangan suami-istri yang tinggal dalam satu rumah setiap harinya.
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pandanwangi Kelurahan Pandanwangi Kecamatan Blimbing Kabupaten Malang pada bulan Januari 2010.
Instrumen untuk mengukur tingkat pengetahuan suami tentang ASI eksklusif dan dukungan suami dengan menggunakan kuesioner yang disusun sendiri oleh peneliti.
Kemudian data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji statistik mann whitney, untuk mengetahui adanya perbedaan pengetahuan suami tentang ASI eksklusif dan dukungan suami antara ibu yang memberikan dengan yang tidak memberikan ASI eksklusif dengan tingkat kepercayaan alfa ≤ 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Karakteristik Responden Berdasar Pendidikan, Pekerjaan, Usia, Tingkat Pengetahuan Suami, Dukungan Suami
4
Gambar 1. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan suami
Gambar 2. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan istri
Gambar 3. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan suami
Gambar 4. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan istri
8%
32%
47%
13%
PENDIDIKAN SUAMI
SD
SMP
SMA
PT
8%
26%
47%
19%
PENDIDIKAN ISTRI
SD
SMP
SMA
PT
61%
39%
PEKERJAAN SUAMI
PETANI
PEGAWAI NEGERI
PEGAWAI SWASTA
WIRASWASTA
3%
26%
18%
53%
PEKERJAAN ISTRI
PETANI
PEGAWAI NEGERI
PEGAWAI SWASTA
WIRASWASTA
IBU RUMAH TANGGA
5
Gambar 5. Distribusi responden berdasarkan usia suami
Gambar 6. Distribusi responden berdasarkan usia istri
Gambar 7. Distribusi responden berdasarkan tingkat pengetahuan suami tentang ASI eksklusif
Gambar 8. Distribusi responden berdasarkan dukungan suami
Dari gambar 1 dan 2 didapatkan rata-rata pendidikan suami dan istri adalah SMA. Pada gambar 3 dan 4 didapatkan suami sebagian besar bekerja sebagai pegawai suasta dan istri sebagai ibu
61%
39%
USIA SUAMI
21-30
31-40
81%
16%
3%
USIA ISTRI
21-30
31-40
>40
3%
16%
81%
TINGKAT PENGETAHUAN SUAMI
TIDAK BAIK
KURANG BAIK
CUKUP
BAIK
11%
26%
45%
18%
DUKUNGAN SUAMI
TIDAK MENDUKUNG
KURANG MENDUKUNG
CUKUP MENDUKUNG
MENDUKUNG
6
rumah tangga. Pada gambar 5 dan 6 didapatkan masing-masing suami maupun istri rata-rata berusia antara 21-30 tahun.
Pada gambar 7 didapatkan tingkat pengetahuan suami tentang ASI eksklusif masing-masing pada kelompok ibu yang memberikan ASI eksklusif diperoleh data yaitu tingkat pengetahuan baik (95%), sedangkan pada kelompok ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif diperoleh data yaitu tingkat pengetahuan baik (69%). Pada gambar 8 didapatkan dukungan suami pada ibu yang memberikan ASI eksklusif yaitu cukup mendukung (45%).
Uji Mann Withney (Pengetahuan Suami Tentang ASI Eksklusif)
Tabel 1. Uji mann withney (pengetahuan suami tentang asi eksklusif)
Status ASI Eksklusif
N
Mean Rank
Sum of Rank
Pengetahuan suami
tentang ASI eksklusif
Bukan ASI eksklusif
ASI eksklusif
19
19
16,97
22,03
322,50
418,50
Total
38
Pengetahuan Suami Tentang ASI Eksklusif
Mann-whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
132,500
322,500
-2,081
0,037
0,163a
Uji Mann Withney (Dukungan Suami)
Tabel 2. Uji mann withney (dukungan suami)
Status ASI Eksklusif
N
Mean Rank
Sum of Rank
Dukungan suami
Bukan ASI eksklusif
ASI eksklusif
19
19
13,71
25,29
260,50
480,50
Total
38
Dukungan Suami
Mann-whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
70,500
260,500
-3,413
0,001
7
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
0,001a
Dari tabel 1 didapatkan hasil analisis statistik menggunakan uji mann whitney untuk data tingkat pengetahuan suami tentang ASI eksklusif diperoleh nilai Asymp. Sig. (2- tailed) (probabilitas) sebesar 0,037.
Sedangkan dari tabel 2 didapatkan hasil untuk data dukungan suami diperoleh nilai Asymp. Sig. (2- tailed) (probabilitas) sebasar 0,001.
Kedua nilai Asymp. Sig. (2- tailed) (probabilitas) tersebut lebih kecil dari nilai alfa (alfa ≤ 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengetahuan suami tentang ASI eksklusif dan dukungan suami antara ibu yang memberikan dengan yang tidak memberikan ASI eksklusif.
Pembahasan
Tingkat Pengetahuan Suami Tentang ASI Eksklusif
Dari data yang diperoleh dapat diketahui bahwa sebagian besar suami memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang ASI eksklusif. Hal ini bisa dikaitkan dengan tingkat pendidikan suami yang sebagian besar adalah tamatan SMA, dimana pendidikan akan memberikan pengaruh kepada tingkatan pengetahuan seseorang. Dengan pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi tingkat penguasaan yang lebih tinggi terhadap materi yang harus dikuasai.
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang adalah usia. Karena usia dapat mempengaruhi memori atau daya ingat yanng dimiliki seseorang. Semakin tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya akan bertambah baik. Dengan demikian, semakin matang tingkat perkembangan seseorang akan mempengaruhi cara orang tersebut untuk mendapatkan pengetahuan.
Namun demikian masih ada suami yang mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang baik mengenai ASI eksklusif. Hal ini bisa disebabkan selain oleh tingkat pendidikan yang rendah, juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang dianut suami. Dimana suami beranggapan bahwa urusan menyusui dan merawat anak adalah urusan istri. Jadi suami tidak perlu tahu mengenai segala urusan menyusui dan merawat anak karena tidak akan ada gunanya.
Dukungan Suami
Dukungan dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya. Salah satu sumber dukungan yang paling dibutuhkan oleh ibu menyusui adalah dukungan dari suaminya. Dari data penelitian ini terlihat frekuensi tertinggi usia ibu terdapat pada rentang usia 21-30 tahun. Dimana menurut Friedman pada usia ini seseorang masih mempunyai emosi yang labil. Jadi sudah sepantasnya seorang suami memberikan dukungannya bagi istrinya yang sedang menyusui bayi mereka. Dengan dukungan tersebut ibu menyusui akan
8
merasa bahwa suaminya memperhatikan, menghargai, dan mencintainya. Dengan demikian ibu menyusui akan lebih memiliki motivasi untuk menyusui bayinya.
Akan tetapi masih ada suami yang kurang mendukung bahkan tidak mendukung istrinya untuk menyusui. Hal ini bisa disebabkan karena suami yang masih mengambil pekerjaan sampingan lain di luar pekerjaan pokoknya sebagai buruh pabrik seperti menjadi supir dan kuli bangunan. Dengan demikian, intensitas pertemuan suami, istri dan anak akan semakin jarang. Ketidakhadiran suami secara fisik, apabila terjadi terlalu sering akan mengurangi waktu suami untuk memberikan dukungan kepada istrinya yang sedang menyusui.
Pemberian ASI Eksklusif
Dari kuesioner yang dibagikan kepada kelompok ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya diperoleh data makanan yang biasa diberikan kepada bayi diantaranya adalah pisang, susu formula, dan bubur bayi. Adapun alasan dari para ibu mengapa memberikan makanan-makanan tersebut adalah karena merasa ASI tidak keluar, ASI yang keluar tidak lancar atau sedikit, puting susu yang belum keluar, ibu yang harus bekerja, bayi yang masih menangis setelah disusui karena masih lapar dan ASI saja tidak cukup, serta melatih mengenalkan makanan pada anak.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat terlihat bahwa tingkat pengetahuan ibu mengenai menyusui masih belum baik.
Perbedaan Pengetahuan Suami Tentang ASI Eksklusif Antara Ibu Yang Memberikan Dengan Yang Tidak Memberikan ASI Eksklusif
Dari perhitungan statistik dengan uji mann whitney diperoleh hasil bahwa ada perbedaan tingkat pengetahuan suami tentang ASI eksklusif antara ibu yang memberikan dengan yang tidak memberikan ASI eksklusif. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Academy Breastfeeding Medicine (ABM) yang berkesimpulan bahwa menyusui adalah proses bertiga dimana ayah memegang peranan penting.
Pasangan suami istri merupakan satu kesatuan yang dalam setiap urusan rumah tangganya akan selalu berkomunikasi. Begitu juga dengan pemberian ASI bagi bayi mereka. Walaupun bukan tokoh sentral dalam pemberian ASI, seorang suami tetap bisa berperan aktif dan bersinergi dengan ibu untuk menyususi bayinya.
Suami yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang ASI eksklusif akan cenderung memiliki perhatian yang lebih untuk ibu menyusui. Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa salah satu faktor predisposisi dari perilaku adalah faktor pengetahuan, sehingga akan ada hubungan yang positif antara pengetahuan suami tentang ASI eksklusif dengan perilakunya bagi ibu menyusui.
Perbedaan Dukungan Suami Antara Ibu Yang Memberikan Dengan Yang Tidak Memberikan ASI Eksklusif
9
Dengan perhitungan uji mann whitney pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dukungan suami antara ibu yang memberikan dengan yang tidak memberikan ASI eksklusif. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) yang menyebutkan bahwa macetnya proses pemberian ASI disebabkan oleh banyak hal, diantaranya bayi yang tidak bisa menghisap, posisi menyusui yang salah, ibu yang merasa tidak nyaman, serta suami dan lingkungan yang tidak mendukung.
Bagi sebagian ibu, menyusui bukanlah hal yang mudah. Banyak ibu baru yang kelelahan dan stres serta tidak yakin mampu memberikan air susunya sendiri untuk bayinya. Proses menyusui akan menjadi proses yang berat dan melelahkan bagi ibu. Masalah psikologis ibu seperti ini bisa mempengaruhi ibu sehingga tidak bisa menyusui anaknya.
Di saat ibu cemas dan kelelahan, suami dapat berperan mengulurkan dukungan dengan memberikan pujian dan dorongan bagi ibu. Dengan adanya suami yang selalu memberikan dukungan baik dukungan informasi, emosional, instrumental dan penilaian, seorang ibu akan lebih bersemangat dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.
Walaupun poses menyusui terkadang terasa berat dan melelahkan bagi ibu, dengan adanya dukungan dari suaminya akan terasa lebih ringan dan menyenangkan karena ibu merasa memiliki teman yang selalu siap untuk membantu dan mendengarkan keluhan dan masalah yang dihadapinya seputar menyusui.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) umumnya sebagian besar suami memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang ASI eksklusif; 2) sebagian besar suami termasuk dalam kategori cukup dalam mendukung istrinya selama pemberian ASI eksklusif; 3) ada perbedaan pengetahuan suami tentang ASI eksklusif antara ibu yang memberikan dengan yang tidak memberikan ASI eksklusif; 4) ada perbedaan dukungan suami antara ibu yang memberikan dengan yang tidak memberikan ASI eksklusif.
Saran yang dapat diberikan yaitu: 1) perlu dilaksanakan kerjasama lintas sektoral dalam perancangan program yang dapat menunjang edukasi mengenai pentingnya ASI eksklusif bagi bayi pada ibu hamil dan keluarganya, terutama suami; 2) perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, A. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.
Alkatiri, S. 2008. Sekali Lagi Khasiat ASI. http://majalah.tempointeraktif.com.
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Baskoro, A. 2008. ASI Panduan Praktis Ibu Menyusui. Yogyakarta: Banyu Media.
Bobak. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
10
Budiasih, K.S. 2008. Handbook Ibu Menyusui. Bandung: PT Karya Kita.
Muchtadi, D. 1996. Gizi untuk Bayi: ASI, Susu Formula dan Makanan.
Februhartanty, J. 2008. Dukungan Ayah Dalam Praktek Pemberian ASI Masih Minim. http://www.forum.kompas.com.
Kuntjoro, Z. 2002. Dukungan Sosial pada Lansia. http://www.e-psikologi.com.
Mardiati, I. 2006. ASI Eksklusif Pada Ibu yang Bekerja. http://ikatandokteranakindonesia.com.
Meliono, I. 2007. MPKT Modul 1. Jakarta: Penerbitan FEUI.
Nizar, E. 2009. Ibu Baru Digoda Oleh Perusahaan Susu Formula Secara Ilegal. http://www.aimi-asi.org.
Notoatmodjo. 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo. 2001. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Andi Offset.
Notoatmodjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam & Pariani. 2001. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: CV Info Medika.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Nuryati, S. 2008. Susu Formula Dan Angka Kematian Bayi. http://www.unisosdem.org.
Reilly, J. 2006. Air Susu Ibu Versus Susu Botol. http://www.mail-archieve.com.
Roesli, U. 2004. Ayah Ikut Campur, ASI pun Berlimpah. http://www.forum.kompas.com.
Rohsiswatmo, R. 2007. Bakteri Baik Di Dalam ASI. http://www.parentsindonesia.com.
Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Simarmata, M. 2009. Mempererat Bonding Antara Bayi dan Ayahnya. http://cybermed.cbn.net.id.
Siswono. 2008. Mencerdaskan Anak Dengan ASI. http://www.gizi.net.
Sugiono. 1999. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alva Beta.
Wong, D.L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

HUBUNGAN TIPE KEPRIBADIAN DENGAN KEJADIAN DEPRESI PADA LANSIA DI UPT PANTI SOSIAL LANJUT USIA PASURUAN (THE RELATIONSHIP OF PERSONALITY TYPE AND DEPRESSION IN ELDERLY)


Setyoadi1*), A. Chusnul Chuluq Ar.2), Kristien Teguhwahyuni3)
ABSTRAK
Masalah kesehatan jiwa akan muncul bila lansia tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan-perubahan yang terjadi seiring dengan proses penuaan, salah satunya timbul dalam bentuk depresi. Kemampuan lansia dalam beradaptasi tersebut dipengaruhi oleh tipe kepribadian yang mereka miliki. Tipe kepribadian akan menentukan kerentanan lansia terhadap terjadinya depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tipe kepribadian dengan kejadian depresi pada lansia. Rancangan penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling dimana seluruh anggota populasi dijadikan sebagai sample yaitu sebanyak 74 responden. Hasil penghitungan nilai prevalence ratio (PR) mendapatkan hasil: 1) tipe kepribadian konstruktif bukan merupakan faktor resiko kejadian depresi (PR = 0,17); 2) tipe kepribadian mandiri merupakan faktor resiko kejadian depresi (PR = 5,13); 3) tipe kepribadian kritik diri merupakan faktor resiko kejadian depresi (PR = 6,25). Oleh karena itu disarankan agar panti dapat semakin mendorong lansia ke arah kepribadian yang konstruktif dengan meningkatkan keterlibatan lansia dalam kegiatan panti dan menambah variasi kegiatan-kegiatan yang telah ada sehingga dapat menambah kesempatan bagi para lansia untuk berinteraksi sosial, tetap aktif dan produktif, dapat mempertahankan kemandirian, dan meningkatkan kepercayaan diri.
Kata kunci: tipe kepribadian, depresi, lansia
ABSTRACT
Psychological health problems would arise if the elderly can not adapt properly to the changes following aging process, which is can be performed as depression. The adaptation ability of the elderly is affected by their personality type. The personality type would determine the elderly’s vulnerability to the depression. This study aimed to investigate the relationship of personality type and depression in elderly. The design was observational analytic study with cross sectional approach design. Subjects were 74 elderly, taken by total sampling technique. The result of prevalence ratio (PR) calculation showed that: 1) constructive personality type was not the risk factor of depression (PR = 0,17); 2) independent personality type was the risk factor of depression (PR = 5,13); 3) self-hate personality type was the risk factor of depression (PR = 6,25). Based on the result it is suggested
to the aging institution to encourage the elderly’s participation in every activities programmed and to improve it’s variation so that it can provided the eldery wider chance of social interaction, supported them to stay active and productive, and improved their self confident.
Keywords: personality type, depression, elderly
LATAR BELAKANG
Masalah kesehatan jiwa akan muncul bila lansia tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan-perubahan yang terjadi seiring dengan proses penuaan, salah satunya timbul dalam bentuk depresi. Kemampuan lansia dalam beradaptasi tersebut dipengaruhi oleh tipe kepribadian yang mereka miliki. Tipe kepribadian akan menentukan kerentanan lansia terhadap terjadinya depresi. Fakta yang didapatkan di UPT panti sosial lanjut usia Pasuruan bahwa para lansia penghuni panti tersebut adalah tunawisma yang berasal dari daerah Jawa Timur dan sekitarnya. Sebelumnya mereka hidup menggelandang tanpa keluarga dan akhirnya dibawa petugas dinas sosial ke panti. Latar belakang kehidupan seperti ini dapat memungkinkan terjadinya depresi pada lansia.
Prevalensi depresi pada lansia di dunia berkisar 8-15% dan hasil meta analisis dari laporan-laporan negara di dunia mendapatkan prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5% dengan perbandingan wanita dan pria adalah 14,1 : 8,6 (Medicastore, 2008). Sejak tahun 2000 penduduk Indonesia sudah tergolong berstruktur tua (lansia lebih dari 7% total penduduk, WHO). Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang tergolong cepat pertumbuhan penduduk lansianya. Pada tahun 2000 penduduk lansia sudah berjumlah 14,4 juta (7,18%) dan pada tahun 2020 diperkirakan akan menjadi dua kali lipat, berjumlah 28,8 juta (11,34%). Pada tahun 2007 BPS mendata penduduk lansia berjumlah 18,96 juta (8,42% dari total penduduk) dengan komposisi 9,04% perempuan dan 7,80% laki-laki (Irwanasir, 2009). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di UPT panti sosial lanjut usia Pasuruan didapatkan data bahwa jumlah penghuni panti adalah sebanyak 102 lansia.
Seiring dengan peningkatan jumlah lansia tersebut, maka masalah kesehatan fisik maupun mental pada lansia pun akan semakin meningkat. Proses penuaan yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis, maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Kesehatan jiwa lansia tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor dimana faktor-faktor tersebut berkaitan dengan berbagai perubahan yang terjadi seiring dengan proses penuaan yaitu penurunan kondisi fisik, penurunan fungsi dan potensi seksual, perubahan aspek psikososial, perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan perubahan dalam peran sosial di masyarakat. Berbagai perubahan tersebut merupakan hal-hal yang akan dialami oleh setiap lansia, namun bila lansia tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan-perubahan tersebut, maka akan berpengaruh terhadap kesehatan jiwanya dan dapat menimbulkan masalah seperti kecemasan, ketakutan
menghadapi hari tua dan depresi. Selain dikarenakan berbagai perubahan yang terjadi karena proses penuaan, depresi juga dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor, yaitu faktor biologi, sosial, dan psikologi. Aspek-aspek kepribadian ikut mempengaruhi tinggi rendahnya depresi yang dialami serta kerentanan terhadap depresi. Menurut Kuntjoro (2002), terdapat lima tipe kepribadian pada lansia yaitu tipe kepribadian konstruktif, mandiri, tergantung, bermusuhan dan kritik diri. Kelima tipe kepribadian ini akan menentukan kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap proses penuaan beserta segala perubahannya.
Salah satu solusi yang disarankan adalah agar panti dapat semakin mendorong lansia ke arah kepribadian yang konstruktif dengan meningkatkan keterlibatan lansia dalam kegiatan panti dan menambah variasi kegiatan-kegiatan yang telah ada sehingga dapat menambah kesempatan bagi para lansia untuk berinteraksi sosial, tetap aktif dan produktif, dapat mempertahankan kemandirian, dan meningkatkan kepercayaan diri.
METODE
Rancangan penelitian yang digunakan adalah observational analytic study with cross sectional approach design (rancangan studi observasional analitik dengan pendekatan cross sectional). Jumlah sample pada penelitian ini sebanyak 74 lansia yang memenuhi kriteria populasi. Responden ditentukan dengan tehnik total sampling sehingga seluruh anggota populasi dijadikan sebagai sample.
Instrumen untuk mengukur tipe kepribadian menggunakan kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Kuntjoro. Kuisioner ini terdiri dari lima kelompok pertanyaan untuk lima tipe kepribadian. Sedangkan depresi diukur dengan kuesioner yang dimodifikasi dari Geriatric Depression Scale. Kedua kuesioner tersebut telah diuji validitas dan reliabilitasnya terlebih dahulu sebelumnya.
Untuk mengetahui risiko terjadinya depresi maka dilakukan analisis prevalence ratio (PR) menggunakan rumus:
PR = A / (A+B) : C / (C+D)
Setiap tipe kepribadian dihitung rasio prevalensinya dengan interpretasi hasil sebagai berikut:
 Nilai PR = 1 berarti tipe kepribadian tersebut tidak ada pengaruhnya untuk terjadinya depresi, dengan kata lain netral.
 Nilai PR > 1 berarti tipe kepribadian tersebut merupakan faktor risiko untuk timbulnya depresi.
 Nilai PR < 1 berarti tipe kepribadian tersebut justru mengurangi kejadian depresi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Data Tipe Kepribadian Responden
Tipe
Kepribadian
Jumlah Persentase
Konstruktif 55 74%
Mandiri 11 15%
Kritik Diri 8 11%
Total 74 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tipe kerpibadian konstruktif memiliki jumlah yang
paling tinggi yaitu sebanyak 55 orang (74%) dari total responden.
Data Depresi Responden
Kejadian
Depresi
Jumlah Persentase
Depresi 26 35%
Tidak Depresi 48 65%
Total 74 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui sebagian besar responden tidak mengalami depresi
yaitu sebanyak 48 orang (65%) dari total responden.
Data Responden berdasarkan Tipe Kepribadian dan Kejadian Depresi
0
10
20
30
40
50
46
2 0
9 9 8
Tidak
depresi
Depresi
Berdasarkan gambar 5.1 dapat diketahui bahwa pada tipe konstruktif responden yang tidak
mengalami depresi berjumlah 5 kali lebih banyak dibandingkan yang mengalami depresi.
PR Tipe Kepribadian Konstruktif
Berdasarkan penghitungan didapatkan nilai PR sebesar 0,17 (PR < 1) yang berarti tipe kepribadian konstruktif bukan merupakan faktor resiko terjadinya depresi tetapi justru mengurangi kejadian depresi pada lansia (protektif).
PR Tipe Kepribadian Mandiri
Berdasarkan penghitungan didapatkan nilai PR sebesar 5,13 (PR > 1) yang berarti tipe kepribadian mandiri merupakan faktor resiko terjadinya depresi pada lansia.
PR Tipe Kepribadian Kritik Diri
Berdasarkan penghitungan didapatkan nilai PR sebesar 6,25 (PR > 1) yang berarti tipe kepribadian mandiri merupakan faktor resiko terjadinya depresi pada lansia.
Pembahasan
Hubungan Tipe Kepribadian Konstruktif dengan Kejadian Depresi pada Lansia
Pada dasarnya tipe kepribadian konstruktif memiliki karakteristik aktif dan mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan dan pola kehidupannya (Kuntjoro, 2002). Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah orang yang dengan keterbatasan yang ada pada dirinya belajar untuk berinteraksi terhadap dirinya dan lingkungan dengan cara yang matang, bermanfaat, efisien, dan memuaskan, serta dapat menyelesaikan konflik, frustrasi, maupun kesulitan-kesulitan pribadi dan sosial tanpa mengalami gangguan tingkah laku (Schneiders dalam Sari, 2010). Lansia dengan tipe konstruktif memperlihatkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri dalam waktu yang cepat. Hal ini terlihat dari 55 lansia tipe konstruktif, 34 di antaranya baru menghuni panti selama kurang dari tiga tahun. Kemampuan penyesuaian diri yang cepat ini didukung oleh kemampuan mereka untuk dapat berinteraksi secara
positif terhadap lingkungan yang ditunjukkan dalam bentuk selalu meluangkan waktu untuk berkumpul dan berbincang-bincang dengan sesama penghuni panti setiap harinya. Mereka menjalin persahabatan dan memiliki interaksi sosial yang baik dengan teman-teman sebaya di dalam panti. Melalui interaksi sosial tersebut lansia dapat bertukar pikiran dan pengalaman, mendapatkan kepuasan, terhindar dari perasaan kesepian, dan mencegah terjadinya depresi. Pernyataan ini dikuatkan oleh penelitian Relawati (2010) yang mendapatkan hasil bahwa semakin baik interaksi sosial lansia maka akan semakin menurunkan tingkat depresinya (p = 0,01). Hasil serupa juga dikemukakan oleh Fan dan Young (2002) bahwa lansia yang memiliki interaksi sosial dengan frekuensi tinggi berhubungan dengan skor depresi yang lebih rendah (p = 0,009).
Selain mudah menyesuaikan diri, karakteristik lain dari tipe kepribadian konstruktif adalah sifat mereka yang aktif. Hal ini dapat dilihat pada keikutsertaan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang telah dijadwalkan panti seperti senam lansia, kerja bakti bersama, dan pelatihan keterampilan yang diselenggarakan selama empat hari dalam satu minggu. Kegiatan-kegiatan yang melibatkan keaktifan fisik lansia tersebut dapat membantu lansia terhindar dari depresi, hal ini dikuatkan oleh penelitian Strawbridge, et al (2002) yang mengemukakan bahwa kegiatan fisik dapat menurunkan risiko terjadinya depresi pada lansia. Aktivitas fisik yang salah satunya dapat dilakukan melalui olah raga dapat mendorong tubuh untuk melepaskan emosi negatif dan menstimulasi norephinephrin yang dapat mencegah depresi (Lubis, 2009).
Fakta bahwa lansia tipe konstruktif yang aktif secara fisik maupun sosial dapat menghindarkan mereka dari depresi pada akhirnya mendukung salah satu teori penuaan yaitu teori aktivitas. Teori ini berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif. Berbagai penelitian telah memvalidasi hubungan positif antara mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain dan kesejahteraan fisik dan mental orang tersebut. Aktivitas fisik dan mental yang berkesinambungan sangat penting untuk mencegah kehilangan dan pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan manusia (Stanley dan Beare, 2006).
Hubungan Tipe Kepribadian Mandiri dengan Kejadian Depresi pada Lansia
Lansia dengan tipe kepribadian mandiri pada dasarnya memiliki sifat yang aktif, dominan, dan senang mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain (Kuntjoro, 2002). Karena sifatnya tersebut, maka lansia dengan tipe mandiri umumnya memiliki pekerjaan atau karir yang baik pada masa mudanya. Hal ini dapat dilihat dari riwayat pekerjaan lansia dengan tipe mandiri yang ada di panti, yaitu seperti supervisor perusahaan, penjaga keamanan, perawat, tentara, dan pegawai swasta. Semua pekerjaan tersebut memiliki prestige yang cukup tinggi dan penghasilan yang baik bagi mereka. Namun ketika
memasuki masa lansia, mereka mulai merasakan adanya gejolak yang timbul. Mereka mengalami perubahan besar dari keadaan sebelumnya yang memiliki pekerjaan ke arah masa lansia yang harus kehilangan pekerjaan tersebut. Setiap orang yang memasuki usia lanjut memang mengalami perubahan sosial, namun perubahan ini akan lebih terasa bagi mereka yang pernah menduduki suatu jabatan atau pekerjaan formal. Mereka akan kehilangan semua perlakuan yang dahulu mereka peroleh, seperti penghormatan, perhatian dan perlakuan khusus (Santoso dan Lestari, 2008).
Keadaan lansia yang sulit menerima perubahan sosial tersebut dapat mengarah pada kondisi yang disebut dengan post power syndrome. Keadaan ini banyak dialami oleh mereka yang baru saja menjalani masa pensiun. Mereka menganggap bahwa kehilangan pekerjaan berarti juga kehilangan harga diri. Mereka mengungkapkan bahwa sudah tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan saat ini. Meskipun telah ada berbagai kegiatan yang diprogramkan panti untuk para lansia. Mereka mengungkapkan keinginan mereka untuk mendapatkan kembali pekerjaan mereka sebelumnya, karena dengan kehilangan pekerjaan seperti saat ini mereka merasa tidak berguna lagi. Keadaan lansia dengan tipe mandiri ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2008) yang menyatakan bahwa kehilangan jabatan yang berkaitan dengan harga diri merupakan salah satu penyebab terjadinya post power syndrome. Selanjutnya, post power syndrome tersebut dapat menimbulkan keadaan-keadaan seperti stress, tidak bahagia, dan depresi (Santoso dan Lestari, 2008).
Hubungan Tipe Kepribadian Kritik Diri dengan Kejadian Depresi pada Lansia
Tipe kepribadian kritik diri ditandai dengan banyaknya kritikan-kritikan negatif yang mereka tujukan pada diri mereka sendiri. Berbagai kritikan negatif tersebut pada akhirnya dapat membangun harga diri yang rendah dalam diri mereka. Orang yang memiliki harga diri rendah umumnya akan mengkritik diri mereka sendiri secara terus menerus (Gilbertson, 2010). Harga diri rendah ini berakibat pada ketidakmampuan lansia dalam mengadakan hubungan sosial dengan lingkungannya, mereka menjadi tidak percaya diri dan ragu-ragu dalam menjalin persahabatan dengan lansia lain. Hal ini terlihat pada hasil pengisian kuisioner yang menunjukkan bahwa lansia dengan tipe kritik diri jarang bersosialisasi dengan lansia lainnya di dalam panti, merasa tidak mampu melakukan apapun dengan kondisi tubuh mereka saat ini, dan sering merasa tidak dipedulikan oleh orang lain. Lansia dengan tipe kritik diri cenderung berdiam diri daripada terlibat dalam pergaulan sosial dengan sesama penghuni panti. Mereka memilih untuk tetap tinggal di dalam kamar daripada keluar dan berbincang dengan lansia lain. Kurangnya pergaulan sosial ini dapat mengakibatkan lansia mengalami kesepian dan depresi. Hal ini sesuai dengan penelitian Besser, et al (2003) yang hasilnya mengindikasikan bahwa kritik diri berhubungan dengan perilaku berdiam diri, kesepian, dan depresi.
Perilaku berdiam diri pada lansia dengan tipe kritik diri dapat dikaitkan juga dengan hilangnya dukungan sosial dari sesama lansia dan penghuni panti lainnya. Perilaku mereka yang tidak mampu melibatkan diri dalam pergaulan sosial akan menyebabkan mereka tidak memiliki teman, dan oleh karenanya kemungkinan untuk mendapatkan dukungan sosial pun menjadi berkurang. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh lansia dalam menghadapi perubahan-perubahan dalam masa tuanya, sehingga dengan tidak mendapatkan dukungan sosial, maka lansia akan berisiko mengalami depresi. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pulungan (2007) yang meneliti tentang hubungan antara harga diri dan dukungan sosial dengan depresi pada lansia di mana. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara harga diri dan dukungan sosial dengan depresi pada lansia yang ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi R x1.2.y = - 0.648 dan p < 0.01. Semakin rendah harga diri dan dukungan sosial, maka semakin tinggi depresi pada lansia. Keadaan ini ditunjukkan pada lansia dengan tipe kritik diri di mana harga diri rendah menghambat mereka dalam mendapatkan dukungan sosial dan pada akhirnya menempatkan mereka pada kondisi yang rentan terhadap depresi.
Hubungan Tipe Kepribadian dengan Kejadian Depresi pada Lansia
Nilai PR paling tinggi adalah pada tipe kepribadian kritik diri (6,25) kemudiaan diikuti oleh tipe kepribadian mandiri (5,13), dan terendah pada tipe kepribadian konstruktif (0,17). Oleh karena itu, tipe kepribadian yang menjadi faktor resiko terjadinya depresi pada lansia adalah kritik diri dan mandiri sedangkan tipe kepribadian konstruktif justru mengurangi terjadinya depresi pada lansia.
Berdasarkan nilai PR tersebut dapat diketahui bahwa lansia dengan tipe kepribadian kritik diri 6 kali lebih beresiko mengalami depresi dibandingkan lansia dengan tipe kepribadian konstruktif, dan lansia dengan tipe kepribadian mandiri 5 kali lebih beresiko mengalami depresi daripada tipe kepribadian konstruktif.
Proses pembentukan kepribadian itu sendiri dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya adalah faktor budaya. Dalam menerima budaya, seseorang mengalami tekanan untuk mengembangkan pola kepribadian yang sesuai dengan standar yang ditentukan budayanya (Djaali, 2009). Pada lansia dengan tipe kepribadian mandiri, berdasarkan data karakteristik umum responden didapatkan hasil bahwa sebagian besar dari mereka berasal dari daerah perkotaan yaitu Surabaya. Masyarakat kota mempunyai suatu sistem tata nilai yang memberikan penghargaan terhadap harkat dan martabat seseorang yang tidak lagi ditentukan berdasarkan baik-buruknya perilaku seperti pada masyarakat pedesaan, melainkan ditentukan oleh kemampuan bekerja atau prestasi kerja serta pemilikan harta benda (Ningsih dkk, 2009). Tata nilai tersebut dapat mendorong mereka untuk bekerja dan memiliki karir
yang baik sehingga mereka mendapatkan penghargaan. Simmel (dalam Daldjoeni, 1997) melukiskan bahwa individu pada masyarakat kota sebagai individu yang cenderung mencari privacy, berhubungan dengan orang lain hanya dalam peranan-peranan yang khusus saja, dan menilai segalanya dari standar uang. Seluruh barang dan jasa di perkotaan dinilai menggunakan uang, sehingga materi menjadi sangat penting. Budaya perkotaan seperti ini berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian mandiri pada masyarakatnya di mana mereka memiliki semangat bekerja yang tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, karena melalui pekerjaan tersebut maka akan ditentukan pula status sosial dan kesejahteraan hidup mereka.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian yaitu: 1) sebagian besar lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan memiliki tipe kepribadian konstruktif; 2) angka kejadian depresi pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan sangat tinggi; 3) tipe kepribadian konstruktif bukan merupakan faktor resiko kejadian depresi tetapi justru mengurangi kejadian depresi (protektif) pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan; 4) tipe kepribadian mandiri merupakan faktor resiko kejadian depresi (5,13 kali lebih beresiko dibandingkan tipe kepribadian konstruktif) pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan; 5) tipe kepribadian kritik diri merupakan faktor resiko kejadian depresi (6,25 kali lebih beresiko dibandingkan tipe kepribadian konstruktif) pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan; 6) secara berurutan, tipe kepribadian yang paling beresiko terhadap kejadian depresi adalah tipe kepribadian mandiri, kritik diri dan konstruktif.
Saran yang dapat diberikan yaitu: 1) perawat dan petugas panti diharapkan mampu mengenali tipe kepribadian masing-masing lansia sehingga dapat menerapkan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan tipe kepribadian tersebut untuk mencegah depresi pada lansia; 2) panti diharapkan dapat semakin mendorong keterlibatan lansia dalam kegiatan panti dan menambah variasi kegiatan-kegiatan yang telah ada. Dengan adanya berbagai kegiatan bersama tersebut maka akan menambah kesempatan bagi para lansia untuk dapat berinteraksi sosial, tetap aktif dan produktif, dapat mempertahankan kemandirian, dan meningkatkan kepercayaan diri sehingga akan dapat mendorong lansia ke arah kepribadian yang konstruktif; 3) panti diharapkan dapat melakukan pembinaan secara khusus pada lansia depresi dan mendorong lansia-lansia tersebut ke arah yang lebih konstruktif.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, M. 2008. Aspek Legal Konstitusional Lansia Indonesia. http://madib.blog.unair.ac.id/elderly-people/lansia/. Diakses tanggal 7 Oktober 2010.
Atkinson, R.L., Atkinson, E.C., Smith, E.E., Bem, D.J. 1991. Pengantar Psikologi. Jakarta: Interaksara.
Besser A, Flett G, Davis R. 2003. Self-criticism, Dependency, Silencing the Self, and Loneliness: a Test of a Mediational Model. http://www.sciencedirect.com. Diakses tanggal 15 Februari 2011.
Buckwalter, K. 2007. Depresi dan Bunuh Diri. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Cokro, C., Sutarto, J. 2008. Pensiun Bukan Akhir Segalanya: Cara Cerdas Menyiasati Masa Pensiun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Daldjoeni, N. 1997. Seluk Beluk Masyarakat Kota. Bandung: Alumni.
Damayanti, D. 2007. Hubungan Dukungan Keluarga dan Koping Lansia dengan Depresi pada Lansia di Kelurahan Oro Oro Ombo Kecamatan Kartoharjo Madiun. eprints.undip.ac.id. Diakses tanggal 30 Agustus 2010.
Djaali. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Enns, M., Cox, B. 1997. Personality Dimensions and Depression: Review and Commentary. Can J Psychiatry vol 42.
Fan, M.Y., Young, Y. 2002. Social Interaction and Depression among Older Adults. http://gateway.nlm.nih.gov. Diakses tanggal 13 Februari 2011.
Gilbert, P., Baldwin, M., Irons, C., Baccus, J., Palmer, M. 2006. Self-Criticism and Self-Warmth: An Imagery Study Exploring Their Relation to Depression. Journal of Cognitive Psychotherapy: An International Quarterly vol 20.
Gilbertson, T. 2010. Self-Esteem vs. Self-Criticism. http://www.goodtherapy.org. Diakses tanggal 18 Februari 2011.
Hall, L. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius.
Handayani, Y. 2008. Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang Mengalami Masa Pensiun. library.gunadarma.ac.id. Diakses tanggal 14 Februari 2011.
Hendrizal. 2010. Lansia & Agenda ke Depan. http://www.hupelita.com/baca.php?id=45106. Diakses 28 Agustus 2010.
Hurlock, E. 1995. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Irwanasir, R. 2009. Kondisi dan Permasalahan Penduduk Lansia. http://www.komnaslansia.or.id. Diakses tanggal 12 April 2010.
Kuntjoro, Z. 2002. Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. http://www.e-psikologi.com/epsi/lanjutusia. Diakses tanggal 14 April 2010.
Kuntjoro, Z. 2002. Memahami Kepribadian Lansia. http://www.e-psikologi.com/epsi/lanjutusia. Diakses tanggal 14 April 2010.
Lubis, N. 2009. Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana.
Mangoenprasodjo, A., Hidayati, S. 2005. Mengisi Hari Tua dengan Bahagia. Yogyakarta: Pradipta.
Mariani dan Kadir, S. 2007. Panti Werdha Sebuah Pilihan. http://subhankadir.wordpress.com. Diakses tanggal 8 Oktober 2010.
McCallion. 2008. Depression and the Elderly. www.albany.edu/aging. Diakses tanggal 15 Oktober 2010.
Medicastore. 2008. Depresi Pengaruhi Kualitas Hidup Lansia. www.medicastore.com. Diakses tanggal 13 April 2010.
Pulungan, N. 2007. Hubungan antara Harga Diri dan Dukungan Sosial dengan Depresi pada Lansia. http://etd.ugm.ac.id. Diakses tanggal 15 Februari 2011.
Puspasari, Y. 2008. Hubungan antara Dukungan Sosial Teman dengan Tingkat Depresi pada Lanjut Usia di Panti Werdha Budhi Dharma Yogyakarta. eprints.undip.ac.id. Diakses tanggal 16 Januari 2011.
Relawati, A. 2010. Hubungan antara Tingkat Depresi dengan Interaksi Sosial pada Lansia di Panti Werdha Dharma Bhakti Surakarta. http://etd.eprints.ums.ac.id. Diakses tanggal 15 Januari 2011.
Santoso, A., Lestari, N. 2008. Peran Serta Keluarga pada Lansia yang Mengalami Post Power Syndrome. Media Ners, Volume 2, Nomor 1, Mei 2008, hlm 1-44.
Sari, S. 2010. Penyesuaian Diri Lanjut Usia di Panti Werdha. repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 15 Maret 2011.
Stanley dan Beare. 2006. Buku Ajar keperawatan. Gerontik edisi 2. Jakarta: EGC.
Strawbridge, W., Deleger, S., Roberts, R., Kaplan, G. 2002. Physical Activity Reduces the Risk of Subsequent Depression for Older Adults. aje.oxfordjournals.org. Diakses tanggal 14 Februari 2011.
Suninggar. 2008. Pengaruh Irama Musik Tradisional Jawa terhadap Penurunan Skor Depresi pada Lansia. Tugas Akhir. Tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Syamsuddin dan Cholil, H. 2008. Penguatan Eksistensi Panti Werdha di Tengah Pergeseran Budaya dan Keluarga. http://www.depsos.go.id. Diakses tanggal 23 Maret 2010.
Tira. 2010. Lansia Sehat, Produktif dan Bermakna. http://yanrehsos.depsos.go.id. Diakses tanggal 3 September 2010.
Yerly, A. 2009. Kebijakan Komnas Lansia. www.komnaslansia.or.id. Diakses tanggal 15 Oktober 2010.
Yusuf, S. 2002. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosdakarya.

BIAYA PERAWATAN DIARE RASIONAL LEBIH RENDAH DIBANDING TIDAK RASIONAL (RATIONAL COST OF DIARRHEA TREATMENT IS LOWER THAN THE IRRATIONAL)

Cholik Harun R1*), Eulis Liawati2)
1)FIKES Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Jl. Budi Utomo No. 10
2)Akper Pemkab Ponorogo
Jl. Wibisono 123 C Ponorogo
*)e-mail: rosjidi_renny@yahoo.co.id
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pola perilaku pencarian pengobatan diare di Kabupaten Ponorogo dan seberapa besar biaya yang seharusnya dapat dihemat dari perilaku yang tidak rasional tersebut. Jenis penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. Responden semua ibu yang balitanya menderita diare sebanyak 100 orang. Uji analisis data dengan bivariat dan uji statistik menggunakan independent t-test digunakan untuk menganalisis perbedaan total biaya pengobatan diare dengan taraf signifikansi p < 0,05. Proporsi perilaku perawatan diare sebagian besar kategori tidak rasional (60%). Terdapat perbedaan biaya perawatan diare rasional dengan tidak rasional. Perilaku perawatan diare tidak rasional membutuhkan biaya lebih besar dibanding perilaku perawatan diare rasional.
Kata kunci: penanganan diare, tidak rasional, biaya
ABSTRAK
This research was conducted to analyze the way how to find out a diarrheal treatment in Ponorogo regency and to estimate the economical cost of the irrational diareal treatment. This was an observational research that used cross sectional design. The number of respondent of the research was 100 children with diarrheal disease. To analyze the different between diarrheal cost treatment, the resesearcher used a statistical test of independent t-test with level of significance p < 0,05. The finding of diarrheal treatment behaviour revealed that most of it was catagorized irrational (60%) which effected the higher cost of treatment.
Keywords: diarrheal treatment, irrasional, cost
LATAR BELAKANG
Diare masa kanak-kanak adalah suatu masalah yang umum yang ditemui oleh tenaga kesehatan terutama pelayanan primer. Diare akut secara khas disebabkan oleh virus, umumnya
2
sembuh sendiri dan tidak memerlukan pengobatan yang spesifik. Fakta menunjukkan bahwa ada permasalahan mendasar pada penanganan diare pada anak yang mestinya dapat ditangani oleh keluarga untuk mencegah jatuh pada kondisi dehidrasi dan akhirnya dibawa ke rumah sakit yang memerlukan biaya yang tinggi, namun data menunjukkan angka masuk rumah sakit cukup tinggi. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana pengetahuan orang tua tentang cara perawatan diare yang tepat?. Bagaimana orang tua memberikan perawatan pada anak diare?. Berapa beban biaya yang harus ditangung keluarga pada saat anaknya menderita diare?.
Data SDKI (2002) menjelaskan bagaimana pola pengobatan diare oleh keluarga di Indonesia yang tidak rasional seperti hanya 51% anak di bawah lima tahun yang mengalami diare dibawa ke fasilitas atau tenaga kesehatan, kemudian 36% anak yang diberi rehidrasi oral, 14% anak tidak mendapat pengobatan sama sekali. Studi yang ada memperlihatkan bahwa 30-55% GE pada anak yang masuk rumah sakit disebabkan oleh rotavirus. Dengan penemuan rotavirus sebagai penyebab diare berarti antibiotika hanya diperlukan jika penyebab diare oleh karena infeksi. Data lain menunjukkan bahwa pada 1996 didapatkan 871 penderita diare yang dirawat dengan kondisi dehidrasi ringan 5%, dehidrasi sedang 7,1%, dan dehidrasi berat 23%. Kemudian pada 2000 terdapat 1.160 penderita diare dengan 19,56% mengalami dehidrasi ringan, 57,59% dehidrasi sedang dan 10% mengalami dehidrasi berat dengan angka kematian 3,01% (Soegeng, 2002). Menurut Bank Dunia biaya perawatan medis rotavirus di negara berkembang sebesar 2,6 juta US dolar pertahun, tidak termasuk perhitungan biaya penyakit tidak langsung (Fruhwirth et al., 2001). WHO (2005) melaporkan sebuah penelitian terhadap biaya yang berkaitan dengan pengobatan bagi pasien rawat inap usia kurang lima tahun di Kuba dan Filipina menunjukkan bahwa biaya rata-rata perkasus pengobatan di rumah sakit sekitar US$50 pada tahun 1989, dengan total biaya pengobatan di rumah tangga diperkirakan mencapai lebih dari US$276.128. Data-data di atas lebih menekankan pada biaya langsung, sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh keluarga sebelum di bawa ke fasilitas kesehatan belum banyak diteliti. Di Indonesia data tentang besar biaya yang dikeluarkan akibat diare belum diketahui secara pasti, padahal diare akut dapat terjadi beberapa kali setiap tahunnya pada balita, rata-rata setiap tahunnya 3,2 episode diare pada setiap anak.
Faktor persepsi individu memegang peranan besar yang memengaruhi perilaku. Persepsi individu bersifat subjektif maka sering tidak sesuai dengan realitas, dan menurut Rosensstock (1982) yang dikutip oleh Sarlito (2004) persepsi subjekti merupakan kunci dari suatu perilaku. Penelitian oleh Soemarno (2005) menjelaskan bagaimana bervariasinya persepsi dan perilaku masyarakat dalam mengobati diare. Penyebab diare dipersepsikan karena masuk angin, terlalu lama mandi dan makanan kecut dan diare bukan disebabkan makhluk halus. Beberapa perilaku pengobatan diare diawali oleh pengobatan tradisional, obat dari warung dan terakhir bila belum sembuh baru dibawa ke petugas kesehatan. Perilaku pencarian pengobatan yang tidak rasional akan membawa dampak yang merugikan pada pasien dan keluarga seperti kemungkinan efek samping dan kebutuhan biaya tambahan yang besar. Prinsip pengobatan diare akut sangat sederhana, murah dan efektif untuk
3
mengatasi diare. Pencegahan dan pengobatan diare selain paket oralit adalah cairan yang umumnya ada di rumah, pemberian air susu ibu (ASI), teruskan pemberian makanan. WHO (2006) menyatakan bahwa oral rehidration teraphy (ORT) merupakan langkah awal tepat dan efektif untuk melawan diare akut pada anak yang mampu menurunkan angka kematian balita dari 4,5 juta menjadi 1,8 juta. Pertolongan diare ditentukan kecepatan dan ketepatan pemberian pengganti cairan yang telah keluar sesuai derajat dehidrasi. Pertolongan harus dimulai dari awal, dimulai dari rumah tangga oleh orang tua, sehingga pengetahuan orang tua tentang cara-cara penanganan awal diare sangat penting. Prinsip tatalaksana dalam menangani diare akut menurut WHO terdapat empat hal yaitu: 1) penggantian cairan (rehidrasi), yang diberikan secara oral untuk mencegah dehidrasi dan mengatasi dehidrasi yang sudah berlangsung; 2) pemberian makanan terutama ASI selama diare dan masa penyembuhan; 3) tidak menggunakan obat anti diare, antibiotika digunakan hanya pada kasus kolera dan disentri; 4) petunjuk bagi orang tua serta pengasuhnya tentang bagaimana merawat anak sakit terutama cara pembuatan oralit, tanda-tanda penyakit diare yang mengharuskan dibawa ke petugas kesehatan, pencegahan diare.
Departemen kesehatan (2002) membuat pedoman tatalaksana diare yang dijelaskan sebagai berikut, tahap pertama adalah menilai derajat dehidrasi dan tahap kedua menentukan rencana pengobatan. Derajat dehidrasi ditentukan berdasarkan hasil pengkajian fisik yang meliputi keadaan umum, kondisi mata, air mata, mulut dan lidah, rasa haus dan turgor kulit. Hasil penilaian dari derajat dehidrasi dijadikan dasar untuk menentukan rencana pengobatan. Perilaku yang harus dilakukan oleh masyarakat, kader dan orang tua bila anaknya sedang menderita diare adalah pertama bagaimana melakukan perawatan saat diare berlangsung di rumah tangga dan bagaimana cara mencegah penyakit diare. Norma sehat merupakan tujuan utama promosi kesehatan pemberantasan penyakit diare (Depkes, 2003). Perawatan anak diare dapat dilakukan sendiri oleh keluarga dan apabila perawatan tidak berhasil dan menunjukkan kondisi yang tidak membaik maka bawa anak ke fasilitas kesehatan. Beberapa hal yang harus dilaukan keluarga (Depkes, 2002) adalah:
1. Beri lebih banyak minum cairan yang ada di rumah tangga, yaitu air tajin, air teh, kuah sayur, air sup dan oralit.
2. Teruskan pemberian makanan.
3. Bawa anak ke sarana kesehatan untuk mendapatkan pertolongan lanjutan, bila anak tidak membaik selama 3 hari atau ada salah satu tanda berikut: diare terus menerus, muntah berulang-ulang, rasa haus yang nyata, tidak bisa makan/minum, demam dan ada darah dalam tinja.
Biaya pengobatan diare yang rasional pada tingkat keluarga sangat rendah, karena hanya oralit atau menggunakan cairan yang ada di keluarga. Perilaku pengobatan yang tidak rasional pasti akan meningkatkan beban biaya dan hanya memberikan manfaat kecil atau tidak sama sekali. Santoso dkk (2003) mendapatkan bahwa salah satu dampak pengobatan irasional di bidang ekonomi adalah pengobatan menjadi mahal.
4
METODE
Jenis penelitian ini adalah observasional dengan memakai rancangan cross sectional, yang mempelajari perbedaan antara biaya perawatan diare dan perilaku ibu dalam pengobatan diare secara serentak pada individu dari populasi tunggal, pada waktu yang sama. Penelitian dilakukan di RSU Kabupaten Ponorogo dan RSU Aisyiyah Ponorogo Jawa Timur pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2008. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu balita diare Kabupaten Ponorogo. Besar sample sebanyak 100 responden yang dipilih dengan tehnik purposive sampling dengan karakteristik ibu balita diare yang bersedia menjadi partisipan.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat ukur kuesioner yang disusun berdasarkan alat ukur evaluasi program penanganaan diare oleh Pusdiknakes tahun 2002. Instrumen penelitian dijelaskan sebagai berikut:
1. Untuk balita terdiri dari 3 butir pertanyaan tertutup dan terbuka, meliputi jenis kelamin, umur, lama perawatan di rumah.
2. Untuk responden terdiri dari 4 butir pertanyaan tertutup, meliputi nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan.
3. Alat ukur perilaku orang tua dan biaya. Pertanyaan perilaku orang tua dengan menggunakan kuesioner terbuka dan tertutup terdiri dari dua sub yaitu: 1) pengobatan yang diberikan; 2) fasilitas pengobatan yang digunakan. Data biaya dikumpulkan dari pembayaran/biaya yang dikeluarkan akibat perilaku pengobatan menurut sudut pandang keluarga.
Uji analisis statistik yang digunakan yaitu: 1) analisis univariat dengan semua variabel yang disusun secara deskriptif dengan tabel frekuensi, gambar maupun grafik; 2) analisis bivariat dengan menggunakan uji independent t test digunakan untuk menganalisis perbedaan total biaya pengobatan diare dengan taraf signifikansi p < 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Analisis Univariat
Karakteristik Responden Dan Balita Berdasar Umur Balita, Jenis Kelamin Balita, Umur Ibu, Tingkat Pendidikan Ibu, Pekerjaan Ibu Dan Pendapatan Keluarga
Tabel 1. Karakteristik responden dan balita berdasar umur balita, jenis kelamin balita, umur ibu, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu dan pendapatan keluarga
No
Umur Balita (bulan)
n
%
1.
< 6
20
20,0
2.
6-24
44
44,0
3.
25-60
36
36,0
5
Jumlah
100
100,0
No
Jenis Kelamin balita
n
%
1.
2.
Laki-laki
Perempuan
53
47
53,0
47,0
Jumlah
100
100,0
No
Umur Ibu (tahun)
n
%
1.
< 30
43
43,0
2.
≥ 30
57
57,0
Jumlah
100
100,0
No
Pendidikan Ibu
n
%
1.
SD
11
11,0
2.
SMP
21
21,0
3.
SMA
46
46,0
4.
PT
22
22,0
Jumlah
100
100,0
No
Pekerjaan Ibu
n
%
1.
2.
3.
4.
5.
6.
PNS
Tani
Suasta
Buruh
Wirasuasta
Ibu rumah tangga
Jumlah
6
14
30
2
21
27
100
6,0
14,0
30,0
2,0
21,0
27,0
100,0
No
Pendapatan
n
%
1.
2.
< 500.000
≥ 500.000
Jumlah
53
47
100
53,0
47,0
100,0
Dari tabel 1 didapatkan karakteristik responden dan balita bahwa sebagian besar umur balita pada pada rentang 6-24 bulan sebanyak 44, dengan jenis kelamin terbanyak laki-laki sebanyak 53. Umur ibu sebagian besar di atas 30 tahun sebanyak 57, dengan proporsi tertinggi pendidikan SMA sebanyak 46. Jenis pekerjaan ibu sebagian besar bekerja sebagai suasta sebanyak 30. Sebagian besar pendapatan keluarga di bawah rata-rata (di bawah Rp. 500.000) sebanyak 53.
6
Karakteristik Pola Perilaku Perawatan Diare Oleh Ibu Berdasar Penyuluhan Oralit, Penyuluhan LGG, Ketersediaan Oralit Di Rumah, Memberikan ORS Dan Perilaku Perawatan Diare
Tabel 2. Karakteristik pola perilaku perawatan diare oleh ibu berdasar penyuluhan oralit, penyuluhan LGG, ketersediaan oralit di rumah, memberikan ORS dan perilaku perawatan diare
No
Penyuluhan Oralit
n
%
1.
Ya
56
56,0
2.
Tidak
44
44,0
Jumlah
100
100,0
No
Penyuluhan LGG
n
%
1.
2.
Ya
Tidak
40
60
40,0
60,0
Jumlah
100
100,0
No
Ketersediaan Oralit di Rumah
n
%
1.
Ya
31
31,0
2.
Tidak
69
69,0
Jumlah
100
100,0
No
Memberikan ORS
n
%
1.
Ya
90
90,0
2.
Tidak
10
10,0
Jumlah
100
100,0
No
Perilaku Perawatan Diare
n
%
1.
2.
Rasional
Tidak rasional
Jumlah
40
60
100
40,0
60,0
100,0
Dari tabel 2 didapatkan karakteristik pola perilaku perawatan diare oleh ibu berdasar penyuluhan oralit sebagian besar sebanyak 56% sudah pernah mendapatkan penyuluhan. Berdasar penyuluhan LGG sebagian besar sebanyak 60% tidak pernah. Berdasar ketersediaan oralit di rumah sebagian besar sebanyak 69% tidak tersedia. Berdasar memberikan ORS sebagian besar sebanyak 90% sudah memberikan. Berdasar perilaku perawatan diare sebagian besar sebanyak 60% tidak rasional.
Analisis bivariat
Perbedaan Biaya Perilaku Perawatan Diare Rasional Dan Tidak Rasional
7
Tabel 3. Perbandingan rata-rata total biaya perawatan diare sebelum dibawa ke fasilitas kesehatan menurut kategori perilaku perawatan
Perilaku Ibu
Mean
SD
Beda Mean
t
p
95%CI
Rasional
Tidak rasional
4.450
40.491
4.930
40.481
36.041
6.821
0,000
25.477-46.605
Dari tabel 3 mengenai uji analisis t-test dilakukan untuk menganalisis perbedaan biaya yang dikeluarkan oleh keluarga antara perilaku perawatan diare yang rasional dengan yang tidak rasional.
Pola perilaku perawatan diare yang tidak rasional membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan perilaku yang rasional. Rata-rata biaya perilaku perawatan diare rasional sebesar Rp. 4.450 dibandingkan dengan perilaku yang tidak rasional yaitu sebesar Rp. 40.491. Hasil uji analisis t-test dengan nilai p = 0,000 hal ini menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara biaya perawatan rasional dan tidak rasional.
Pembahasan
Perawatan diare akut yang tepat adalah dengan pemberian URO berupa cairan oralit dan cairan rumah tangga. Prinsip tatalaksana diare akut menurut WHO (2006) meliputi 4 hal yaitu: 1) penggantian cairan (rehidrasi) yang diberikan secara oral untuk mencegah dehidrasi dan mengatasi dehidrasi yang sudah berlangsung; 2) pemberian makanan terutama ASI selama diare dan masa penyembuhan; 3) tidak menggunakan obat antidiare dan menggunakan antibiotika, digunakan hanya pada kasus kholera dan disentri; 4) petunjuk bagi ibu dan pengasuhnya tentang bagaimana merawat anak sakit terutama cara pembuatan oralit, tanda-tanda bahaya penyakit diare yang mengharuskan dibawa ke petugas kesehatan dan pencegahan diare.
Pola Perilaku Perawatan Diare Balita Oleh Ibu
Hasil penelitian menunjukkan 60% responden melakukan tindakan perawatan diare yang tidak rasional. Perilaku perawatan diare yang tidak rasional jika tidak memenuhi standar dari WHO dan Depkes RI. Perilaku perawatan diare masih banyak yang tidak benar seperti penggunaan obat anti diare, obat antibiotika dan obat-obat tradisional.
Teori HBM dapat menjelaskan bagaimana terbentuknya perilaku seseorang. Menurut teori HBM persepsi merupakan kunci dari suatu perilaku. Perilaku perawatan diare yang benar sangat dipengaruhi persepsi ibu tentang penyakit diare dan keefektifan oralit. Persepsi yang salah tentang penyakit diare di masyarakat masih tinggi. Hasil penelitian Rosjidi (2008) menunjukkan 58,2% ibu mempunyai persepsi negatif tentang penyakit diare, dan 59,7% mempunyai persepsi negatif tentang oralit. Keterlambatan dan kesalahan perilaku perawatan diare akan berakibat fatal. Hasil penelitian ini menunjukkan hanya hanya 40% ibu perperilaku yang rasional dalam perawatan balita diare. Walaupun perilaku pemberian URO pada balita diare oleh ibu menunjukkan proporsi yang tinggi seperti perilaku
8
pemberian ORS sebesar 90%. Namun perilaku perawatan diare masih banyak yang tidak benar seperti penggunaan obat anti diare, obat antibiotika dan obat-obat tradisional. Hasil ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Unik et al (2007) yang mendapatkan hasil hanya 49,5% responden memberikan oralit pada saat anaknya diare. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan data SDKI (2002-2003) yang memberikan gambaran terdapat 36% anak yang diberi rehidrasi oral saat diare.
Menurut teori HBM faktor pencetus perilaku salah satunya adalah keberadaan promosi kesehatan tentang penanganan diare. Hasil penelitian menunjukkan ibu yang mendapat informasi tentang oralit sebesar 56% dan 40% responden pernah mendapat informasi tentang LGG. Hasil penelitian ini mendukung teori HBM bahwa perilaku dapat ditimbulkan dengan cara memberikan stimulus berupa promosi tentang oralit. Penelitian Rao (1998) di India mendapatkan hasil bahwa perilaku ibu dalam penggunaan ORS meningkat dengan adanya promosi yang dilakukan lewat media massa elektronik. Menurut teori HBM perilaku dipengaruhi oleh kepercayaan atau persepsi, variabel demografi, adanya pencetus tindakan, dan kepercayaan tentang penyakit diare dan manfaat oralit.
Hasil penelitian ini menunjukkan hanya 40% ibu yang memberikan perawatan pada anaknya secara rasional, meskipun promosi gencar dilakukan oleh pemerintah baik melalui kader, iklan di televisi dan media lainnya.
Perbedaan Biaya Pengobatan Pada Balita Diare Antara Yang Rasional Dan Tidak Rasional
Biaya perawatan diare yang tidak rasional lebih tinggi dibandingkan perilaku perawatan yang rasional dan perbedaan ini secara statistik bermakna (p < 0,05). Biaya perawatan diare yang rasional pada tingkat keluarga sangat rendah, karena hanya menggunakan oralit dan cairan yang ada di rumah tangga. Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata biaya pengobatan diare yang rasional sebesar Rp. 4.450, angka ini berbeda sangat jauh dengan biaya perawatan diare yang tidak rasional sebesar Rp. 40.491. Santoso (2003) menyatakan bahwa salah satu dampak pengobatan tidak rasional di bidang ekonomi adalah biaya pengobatan menjadi mahal.
Pengobatan yang tidak rasional sebagian besar terdiri dari pengobatan diare dengan pemberian antibiotika dan anti diare. Penggunaan antibiotika pada semua kasus diare tidak efektif dan hanya akan meningkatkan beban biaya. Penyebab diare akut sebagian besar adalah rotavirus (40-60%) dimana tidak membutuhkan pengobatan dengan antibiotika. Arustiyono (1990) menyebutkan bahwa biaya pengobatan diare paling tinggi digunakan untuk pembelian antibiotika.
Penggunaan antibiotika yang berlebihan pada pengobatan diare akut balita berisiko terjadinya efek samping, resistensi, dan ketergantungan dalam pengobatan oleh masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa pengobatan rasional merupakan cara efektif dan efesien dalam perawatan balita diare.
Makna Praktis Perbedaan Biaya Perawatan Diare Rasional Dan Tidak Rasional
Angka kejadian diare pada balita di Indonesia sekitar 40 juta pertahun, dengan episode serangan 2 kali pertahun. Data ini dapat digunakan untuk memperkirakan biaya yang seharusnya dapat
9
dihemat pada perawatan diare akut. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 60% perilaku ibu tidak rasional dengan asumsi kejadian diare secara nasional sebesar 40 juta pertahun maka terdapat 24 juta ibu melakukan perawatan diare yang tidak rasional. Berdasarkan data di atas dengan perbedaan biaya perawatan rasional dan tidak rasional sebesar Rp. 36.041 dapat diperkirakan besarnya biaya yang seharusnya dapat dihemat jika melakukan perawatan diare secara rasional sebesar 24.000.000 x Rp. 36.041 x 2 episode = Rp. 1.729.968.000.000. Data dari BPS (2004) menggambarkan jumlah penduduk usia 0-4 tahun di Kabupaten Ponorogo sebesar 69.922 orang dengan kejadian penyakit diare sebesar 5,08% (angka kejadian diare 5,08% x 69.922 = 3.552 orang). Dari 3.552 balita tersebut yang mengalami diare 60% sebesar 2.131 mendapatkan perawatan diare yang tidak rasional. Biaya yang seharusnya dapat dihemat dari perilaku perawatan diare yang tidak rasional dalam satu tahun sebesar Rp. 36.041 x 2.131 balita x 2 episode diare = Rp. 123.606.742.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini adalah: 1) proporsi perilaku perawatan diare di Kabupaten Ponorogo sebagian besar adalah kategori tidak rasional; 2) terdapat perbedaan biaya perawatan diare yang rasional dengan tidak rasional. Perilaku perawatan diare yang tidak rasional membutuhkan biaya lebih besar dibanding perilaku perawatan diare yang rasional.
Saran yang dapat direkomendasikan yaitu: 1) pelatihan mengenai penanganan diare pada masyarakat harus dilakukan oleh dinas kesehatan untuk meningkatkan perilaku yang benar pada penanganan diare; 2) penelitian tentang biaya secara langsung maupun tidak langsung mengenai perawatan diare dapat dilakukan untuk memperkirakan besarnya biaya perawatan diare secara komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik dan ORC Macro. 2003. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003. Calverton Maryland USA: ORC Macro.
Departemen Kesehatan RI. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1216/MENKES/SK/XI/2001. Jakarta: Depkes RI.
Harianto. 2004. Penyuluhan Penggunaan Oralit Untuk Menanggulangi Diare Di Masyarakat. Majalah Ilmu Kefarmasian. 1:27-33.
Sarwono, S. 2004. Sosiologi Kesehatan: Beberapa konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Santoso, B. 2001. Drugs In Developing Countries. In: Van Boxtel, C.J., Santoso, B & Edward, I.R. Drug Benefit And Risk. International Texbook Of Clinical Pharmacology. UK: John Wiley & Sons.
Soegijanto, S. 2002. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa & Penatalaksanaan. Jakarta: Salemba Medika.
10
Soemarno, I. 1995. Persepsi Masyarakat Tentang Diare Dan Pencarian Pengobatannya Di Dua Desa Di Kabupaten Boyolali. Badan Litbang Kesehatan. http://www.litbangkes.or.id. Diakses pada 2 September 2007.
Rao, K.V., Misrha, V.K., Retherford, R.D. 1998. Knowledge And Use Of Oral Rehydration Therapy For Childhood Diarrhoea In India: Effects Of Exposure To Mass Media. Mumbai India: International Institute For Population Sciences.
Rosjidi, C.H. 2008. Evaluasi Perilaku Ibu Dalam Perawatan Balita Diare Di Kabupaten Ponorogo. Penelitian Tidak dipublikasikan.
Unik, P., Junaidi, A., Djaelani, A., Ratgono, A. 2007. Diare dan Permasalahannya. www.dinkesjatim.go.id. Diakses pada 2 September 2007.
WHO. 2002. Penyakit Bawaan Makanan: Fokus Pendidikan Kesehatan. Jakarta: EGC.
WHO. 2006. Implementing The New Recommendations On The Clinical Management Of Diarrhoea: Guidelines For Policy Makers And Programme Managers. Jeneva: WHO.
BIODATA PENELITI
1. Biodata Ketua Pelaksana :
a. Nama Lengkap dan Gelar : Cholik Harun Rosjidi, A.Per.Pen, M.Kes
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. NIP : 197202222005011001
d. Pangkat/gol : Penata Muda Tk I/III.b
e. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
f. Fakultas/Prodi :Ilmu Kesehatan/Prodi DIII Keperawatan
g. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Ponorogo
h. Bidang Keahlian : Keperawatan Dasar, Keperawatan Medikal Bedah, Metodologi penelitian
I. Alamat Kantor : UNMUH Ponorogo, Jl, Budi Utomo, No. 10
j. Telp/Faks/ : (0352) 481124/0352461796
k. Alamat rumah : Jl. Halimperdana Kusuma Gg. V/4 Ponorogo
l. Telp/email : 081335688568/ rosjidi_renny@yahoo.co.id
2. Anggota peneliti
a. Nama Lengkap dan Gelar : Eulis Liawati, S.Kp, M.Kes
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. NIP : 197506122003122005
d. Pangkat/gol : Penata Muda/III.a
e. Jabatan Fungsional/struk : Asisten Ahli
f. Perguruan Tinggi : Akper Pemkab Ponorogo
11
g. Bidang Keahlian : Biostatistik, metodologi penelitian, biokimia
h. Alamat rumah : Jl. Wibisono 123 C Ponorogo
i. Telp/email : 08123434366