Selasa, 23 April 2013

HUBUNGAN TIPE KEPRIBADIAN DENGAN KEJADIAN DEPRESI PADA LANSIA DI UPT PANTI SOSIAL LANJUT USIA PASURUAN (THE RELATIONSHIP OF PERSONALITY TYPE AND DEPRESSION IN ELDERLY)


Setyoadi1*), A. Chusnul Chuluq Ar.2), Kristien Teguhwahyuni3)
ABSTRAK
Masalah kesehatan jiwa akan muncul bila lansia tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan-perubahan yang terjadi seiring dengan proses penuaan, salah satunya timbul dalam bentuk depresi. Kemampuan lansia dalam beradaptasi tersebut dipengaruhi oleh tipe kepribadian yang mereka miliki. Tipe kepribadian akan menentukan kerentanan lansia terhadap terjadinya depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tipe kepribadian dengan kejadian depresi pada lansia. Rancangan penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling dimana seluruh anggota populasi dijadikan sebagai sample yaitu sebanyak 74 responden. Hasil penghitungan nilai prevalence ratio (PR) mendapatkan hasil: 1) tipe kepribadian konstruktif bukan merupakan faktor resiko kejadian depresi (PR = 0,17); 2) tipe kepribadian mandiri merupakan faktor resiko kejadian depresi (PR = 5,13); 3) tipe kepribadian kritik diri merupakan faktor resiko kejadian depresi (PR = 6,25). Oleh karena itu disarankan agar panti dapat semakin mendorong lansia ke arah kepribadian yang konstruktif dengan meningkatkan keterlibatan lansia dalam kegiatan panti dan menambah variasi kegiatan-kegiatan yang telah ada sehingga dapat menambah kesempatan bagi para lansia untuk berinteraksi sosial, tetap aktif dan produktif, dapat mempertahankan kemandirian, dan meningkatkan kepercayaan diri.
Kata kunci: tipe kepribadian, depresi, lansia
ABSTRACT
Psychological health problems would arise if the elderly can not adapt properly to the changes following aging process, which is can be performed as depression. The adaptation ability of the elderly is affected by their personality type. The personality type would determine the elderly’s vulnerability to the depression. This study aimed to investigate the relationship of personality type and depression in elderly. The design was observational analytic study with cross sectional approach design. Subjects were 74 elderly, taken by total sampling technique. The result of prevalence ratio (PR) calculation showed that: 1) constructive personality type was not the risk factor of depression (PR = 0,17); 2) independent personality type was the risk factor of depression (PR = 5,13); 3) self-hate personality type was the risk factor of depression (PR = 6,25). Based on the result it is suggested
to the aging institution to encourage the elderly’s participation in every activities programmed and to improve it’s variation so that it can provided the eldery wider chance of social interaction, supported them to stay active and productive, and improved their self confident.
Keywords: personality type, depression, elderly
LATAR BELAKANG
Masalah kesehatan jiwa akan muncul bila lansia tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan-perubahan yang terjadi seiring dengan proses penuaan, salah satunya timbul dalam bentuk depresi. Kemampuan lansia dalam beradaptasi tersebut dipengaruhi oleh tipe kepribadian yang mereka miliki. Tipe kepribadian akan menentukan kerentanan lansia terhadap terjadinya depresi. Fakta yang didapatkan di UPT panti sosial lanjut usia Pasuruan bahwa para lansia penghuni panti tersebut adalah tunawisma yang berasal dari daerah Jawa Timur dan sekitarnya. Sebelumnya mereka hidup menggelandang tanpa keluarga dan akhirnya dibawa petugas dinas sosial ke panti. Latar belakang kehidupan seperti ini dapat memungkinkan terjadinya depresi pada lansia.
Prevalensi depresi pada lansia di dunia berkisar 8-15% dan hasil meta analisis dari laporan-laporan negara di dunia mendapatkan prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5% dengan perbandingan wanita dan pria adalah 14,1 : 8,6 (Medicastore, 2008). Sejak tahun 2000 penduduk Indonesia sudah tergolong berstruktur tua (lansia lebih dari 7% total penduduk, WHO). Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang tergolong cepat pertumbuhan penduduk lansianya. Pada tahun 2000 penduduk lansia sudah berjumlah 14,4 juta (7,18%) dan pada tahun 2020 diperkirakan akan menjadi dua kali lipat, berjumlah 28,8 juta (11,34%). Pada tahun 2007 BPS mendata penduduk lansia berjumlah 18,96 juta (8,42% dari total penduduk) dengan komposisi 9,04% perempuan dan 7,80% laki-laki (Irwanasir, 2009). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di UPT panti sosial lanjut usia Pasuruan didapatkan data bahwa jumlah penghuni panti adalah sebanyak 102 lansia.
Seiring dengan peningkatan jumlah lansia tersebut, maka masalah kesehatan fisik maupun mental pada lansia pun akan semakin meningkat. Proses penuaan yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis, maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Kesehatan jiwa lansia tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor dimana faktor-faktor tersebut berkaitan dengan berbagai perubahan yang terjadi seiring dengan proses penuaan yaitu penurunan kondisi fisik, penurunan fungsi dan potensi seksual, perubahan aspek psikososial, perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan perubahan dalam peran sosial di masyarakat. Berbagai perubahan tersebut merupakan hal-hal yang akan dialami oleh setiap lansia, namun bila lansia tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan-perubahan tersebut, maka akan berpengaruh terhadap kesehatan jiwanya dan dapat menimbulkan masalah seperti kecemasan, ketakutan
menghadapi hari tua dan depresi. Selain dikarenakan berbagai perubahan yang terjadi karena proses penuaan, depresi juga dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor, yaitu faktor biologi, sosial, dan psikologi. Aspek-aspek kepribadian ikut mempengaruhi tinggi rendahnya depresi yang dialami serta kerentanan terhadap depresi. Menurut Kuntjoro (2002), terdapat lima tipe kepribadian pada lansia yaitu tipe kepribadian konstruktif, mandiri, tergantung, bermusuhan dan kritik diri. Kelima tipe kepribadian ini akan menentukan kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap proses penuaan beserta segala perubahannya.
Salah satu solusi yang disarankan adalah agar panti dapat semakin mendorong lansia ke arah kepribadian yang konstruktif dengan meningkatkan keterlibatan lansia dalam kegiatan panti dan menambah variasi kegiatan-kegiatan yang telah ada sehingga dapat menambah kesempatan bagi para lansia untuk berinteraksi sosial, tetap aktif dan produktif, dapat mempertahankan kemandirian, dan meningkatkan kepercayaan diri.
METODE
Rancangan penelitian yang digunakan adalah observational analytic study with cross sectional approach design (rancangan studi observasional analitik dengan pendekatan cross sectional). Jumlah sample pada penelitian ini sebanyak 74 lansia yang memenuhi kriteria populasi. Responden ditentukan dengan tehnik total sampling sehingga seluruh anggota populasi dijadikan sebagai sample.
Instrumen untuk mengukur tipe kepribadian menggunakan kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Kuntjoro. Kuisioner ini terdiri dari lima kelompok pertanyaan untuk lima tipe kepribadian. Sedangkan depresi diukur dengan kuesioner yang dimodifikasi dari Geriatric Depression Scale. Kedua kuesioner tersebut telah diuji validitas dan reliabilitasnya terlebih dahulu sebelumnya.
Untuk mengetahui risiko terjadinya depresi maka dilakukan analisis prevalence ratio (PR) menggunakan rumus:
PR = A / (A+B) : C / (C+D)
Setiap tipe kepribadian dihitung rasio prevalensinya dengan interpretasi hasil sebagai berikut:
 Nilai PR = 1 berarti tipe kepribadian tersebut tidak ada pengaruhnya untuk terjadinya depresi, dengan kata lain netral.
 Nilai PR > 1 berarti tipe kepribadian tersebut merupakan faktor risiko untuk timbulnya depresi.
 Nilai PR < 1 berarti tipe kepribadian tersebut justru mengurangi kejadian depresi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Data Tipe Kepribadian Responden
Tipe
Kepribadian
Jumlah Persentase
Konstruktif 55 74%
Mandiri 11 15%
Kritik Diri 8 11%
Total 74 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tipe kerpibadian konstruktif memiliki jumlah yang
paling tinggi yaitu sebanyak 55 orang (74%) dari total responden.
Data Depresi Responden
Kejadian
Depresi
Jumlah Persentase
Depresi 26 35%
Tidak Depresi 48 65%
Total 74 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui sebagian besar responden tidak mengalami depresi
yaitu sebanyak 48 orang (65%) dari total responden.
Data Responden berdasarkan Tipe Kepribadian dan Kejadian Depresi
0
10
20
30
40
50
46
2 0
9 9 8
Tidak
depresi
Depresi
Berdasarkan gambar 5.1 dapat diketahui bahwa pada tipe konstruktif responden yang tidak
mengalami depresi berjumlah 5 kali lebih banyak dibandingkan yang mengalami depresi.
PR Tipe Kepribadian Konstruktif
Berdasarkan penghitungan didapatkan nilai PR sebesar 0,17 (PR < 1) yang berarti tipe kepribadian konstruktif bukan merupakan faktor resiko terjadinya depresi tetapi justru mengurangi kejadian depresi pada lansia (protektif).
PR Tipe Kepribadian Mandiri
Berdasarkan penghitungan didapatkan nilai PR sebesar 5,13 (PR > 1) yang berarti tipe kepribadian mandiri merupakan faktor resiko terjadinya depresi pada lansia.
PR Tipe Kepribadian Kritik Diri
Berdasarkan penghitungan didapatkan nilai PR sebesar 6,25 (PR > 1) yang berarti tipe kepribadian mandiri merupakan faktor resiko terjadinya depresi pada lansia.
Pembahasan
Hubungan Tipe Kepribadian Konstruktif dengan Kejadian Depresi pada Lansia
Pada dasarnya tipe kepribadian konstruktif memiliki karakteristik aktif dan mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan dan pola kehidupannya (Kuntjoro, 2002). Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah orang yang dengan keterbatasan yang ada pada dirinya belajar untuk berinteraksi terhadap dirinya dan lingkungan dengan cara yang matang, bermanfaat, efisien, dan memuaskan, serta dapat menyelesaikan konflik, frustrasi, maupun kesulitan-kesulitan pribadi dan sosial tanpa mengalami gangguan tingkah laku (Schneiders dalam Sari, 2010). Lansia dengan tipe konstruktif memperlihatkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri dalam waktu yang cepat. Hal ini terlihat dari 55 lansia tipe konstruktif, 34 di antaranya baru menghuni panti selama kurang dari tiga tahun. Kemampuan penyesuaian diri yang cepat ini didukung oleh kemampuan mereka untuk dapat berinteraksi secara
positif terhadap lingkungan yang ditunjukkan dalam bentuk selalu meluangkan waktu untuk berkumpul dan berbincang-bincang dengan sesama penghuni panti setiap harinya. Mereka menjalin persahabatan dan memiliki interaksi sosial yang baik dengan teman-teman sebaya di dalam panti. Melalui interaksi sosial tersebut lansia dapat bertukar pikiran dan pengalaman, mendapatkan kepuasan, terhindar dari perasaan kesepian, dan mencegah terjadinya depresi. Pernyataan ini dikuatkan oleh penelitian Relawati (2010) yang mendapatkan hasil bahwa semakin baik interaksi sosial lansia maka akan semakin menurunkan tingkat depresinya (p = 0,01). Hasil serupa juga dikemukakan oleh Fan dan Young (2002) bahwa lansia yang memiliki interaksi sosial dengan frekuensi tinggi berhubungan dengan skor depresi yang lebih rendah (p = 0,009).
Selain mudah menyesuaikan diri, karakteristik lain dari tipe kepribadian konstruktif adalah sifat mereka yang aktif. Hal ini dapat dilihat pada keikutsertaan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang telah dijadwalkan panti seperti senam lansia, kerja bakti bersama, dan pelatihan keterampilan yang diselenggarakan selama empat hari dalam satu minggu. Kegiatan-kegiatan yang melibatkan keaktifan fisik lansia tersebut dapat membantu lansia terhindar dari depresi, hal ini dikuatkan oleh penelitian Strawbridge, et al (2002) yang mengemukakan bahwa kegiatan fisik dapat menurunkan risiko terjadinya depresi pada lansia. Aktivitas fisik yang salah satunya dapat dilakukan melalui olah raga dapat mendorong tubuh untuk melepaskan emosi negatif dan menstimulasi norephinephrin yang dapat mencegah depresi (Lubis, 2009).
Fakta bahwa lansia tipe konstruktif yang aktif secara fisik maupun sosial dapat menghindarkan mereka dari depresi pada akhirnya mendukung salah satu teori penuaan yaitu teori aktivitas. Teori ini berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif. Berbagai penelitian telah memvalidasi hubungan positif antara mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain dan kesejahteraan fisik dan mental orang tersebut. Aktivitas fisik dan mental yang berkesinambungan sangat penting untuk mencegah kehilangan dan pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan manusia (Stanley dan Beare, 2006).
Hubungan Tipe Kepribadian Mandiri dengan Kejadian Depresi pada Lansia
Lansia dengan tipe kepribadian mandiri pada dasarnya memiliki sifat yang aktif, dominan, dan senang mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain (Kuntjoro, 2002). Karena sifatnya tersebut, maka lansia dengan tipe mandiri umumnya memiliki pekerjaan atau karir yang baik pada masa mudanya. Hal ini dapat dilihat dari riwayat pekerjaan lansia dengan tipe mandiri yang ada di panti, yaitu seperti supervisor perusahaan, penjaga keamanan, perawat, tentara, dan pegawai swasta. Semua pekerjaan tersebut memiliki prestige yang cukup tinggi dan penghasilan yang baik bagi mereka. Namun ketika
memasuki masa lansia, mereka mulai merasakan adanya gejolak yang timbul. Mereka mengalami perubahan besar dari keadaan sebelumnya yang memiliki pekerjaan ke arah masa lansia yang harus kehilangan pekerjaan tersebut. Setiap orang yang memasuki usia lanjut memang mengalami perubahan sosial, namun perubahan ini akan lebih terasa bagi mereka yang pernah menduduki suatu jabatan atau pekerjaan formal. Mereka akan kehilangan semua perlakuan yang dahulu mereka peroleh, seperti penghormatan, perhatian dan perlakuan khusus (Santoso dan Lestari, 2008).
Keadaan lansia yang sulit menerima perubahan sosial tersebut dapat mengarah pada kondisi yang disebut dengan post power syndrome. Keadaan ini banyak dialami oleh mereka yang baru saja menjalani masa pensiun. Mereka menganggap bahwa kehilangan pekerjaan berarti juga kehilangan harga diri. Mereka mengungkapkan bahwa sudah tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan saat ini. Meskipun telah ada berbagai kegiatan yang diprogramkan panti untuk para lansia. Mereka mengungkapkan keinginan mereka untuk mendapatkan kembali pekerjaan mereka sebelumnya, karena dengan kehilangan pekerjaan seperti saat ini mereka merasa tidak berguna lagi. Keadaan lansia dengan tipe mandiri ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2008) yang menyatakan bahwa kehilangan jabatan yang berkaitan dengan harga diri merupakan salah satu penyebab terjadinya post power syndrome. Selanjutnya, post power syndrome tersebut dapat menimbulkan keadaan-keadaan seperti stress, tidak bahagia, dan depresi (Santoso dan Lestari, 2008).
Hubungan Tipe Kepribadian Kritik Diri dengan Kejadian Depresi pada Lansia
Tipe kepribadian kritik diri ditandai dengan banyaknya kritikan-kritikan negatif yang mereka tujukan pada diri mereka sendiri. Berbagai kritikan negatif tersebut pada akhirnya dapat membangun harga diri yang rendah dalam diri mereka. Orang yang memiliki harga diri rendah umumnya akan mengkritik diri mereka sendiri secara terus menerus (Gilbertson, 2010). Harga diri rendah ini berakibat pada ketidakmampuan lansia dalam mengadakan hubungan sosial dengan lingkungannya, mereka menjadi tidak percaya diri dan ragu-ragu dalam menjalin persahabatan dengan lansia lain. Hal ini terlihat pada hasil pengisian kuisioner yang menunjukkan bahwa lansia dengan tipe kritik diri jarang bersosialisasi dengan lansia lainnya di dalam panti, merasa tidak mampu melakukan apapun dengan kondisi tubuh mereka saat ini, dan sering merasa tidak dipedulikan oleh orang lain. Lansia dengan tipe kritik diri cenderung berdiam diri daripada terlibat dalam pergaulan sosial dengan sesama penghuni panti. Mereka memilih untuk tetap tinggal di dalam kamar daripada keluar dan berbincang dengan lansia lain. Kurangnya pergaulan sosial ini dapat mengakibatkan lansia mengalami kesepian dan depresi. Hal ini sesuai dengan penelitian Besser, et al (2003) yang hasilnya mengindikasikan bahwa kritik diri berhubungan dengan perilaku berdiam diri, kesepian, dan depresi.
Perilaku berdiam diri pada lansia dengan tipe kritik diri dapat dikaitkan juga dengan hilangnya dukungan sosial dari sesama lansia dan penghuni panti lainnya. Perilaku mereka yang tidak mampu melibatkan diri dalam pergaulan sosial akan menyebabkan mereka tidak memiliki teman, dan oleh karenanya kemungkinan untuk mendapatkan dukungan sosial pun menjadi berkurang. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh lansia dalam menghadapi perubahan-perubahan dalam masa tuanya, sehingga dengan tidak mendapatkan dukungan sosial, maka lansia akan berisiko mengalami depresi. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pulungan (2007) yang meneliti tentang hubungan antara harga diri dan dukungan sosial dengan depresi pada lansia di mana. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara harga diri dan dukungan sosial dengan depresi pada lansia yang ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi R x1.2.y = - 0.648 dan p < 0.01. Semakin rendah harga diri dan dukungan sosial, maka semakin tinggi depresi pada lansia. Keadaan ini ditunjukkan pada lansia dengan tipe kritik diri di mana harga diri rendah menghambat mereka dalam mendapatkan dukungan sosial dan pada akhirnya menempatkan mereka pada kondisi yang rentan terhadap depresi.
Hubungan Tipe Kepribadian dengan Kejadian Depresi pada Lansia
Nilai PR paling tinggi adalah pada tipe kepribadian kritik diri (6,25) kemudiaan diikuti oleh tipe kepribadian mandiri (5,13), dan terendah pada tipe kepribadian konstruktif (0,17). Oleh karena itu, tipe kepribadian yang menjadi faktor resiko terjadinya depresi pada lansia adalah kritik diri dan mandiri sedangkan tipe kepribadian konstruktif justru mengurangi terjadinya depresi pada lansia.
Berdasarkan nilai PR tersebut dapat diketahui bahwa lansia dengan tipe kepribadian kritik diri 6 kali lebih beresiko mengalami depresi dibandingkan lansia dengan tipe kepribadian konstruktif, dan lansia dengan tipe kepribadian mandiri 5 kali lebih beresiko mengalami depresi daripada tipe kepribadian konstruktif.
Proses pembentukan kepribadian itu sendiri dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya adalah faktor budaya. Dalam menerima budaya, seseorang mengalami tekanan untuk mengembangkan pola kepribadian yang sesuai dengan standar yang ditentukan budayanya (Djaali, 2009). Pada lansia dengan tipe kepribadian mandiri, berdasarkan data karakteristik umum responden didapatkan hasil bahwa sebagian besar dari mereka berasal dari daerah perkotaan yaitu Surabaya. Masyarakat kota mempunyai suatu sistem tata nilai yang memberikan penghargaan terhadap harkat dan martabat seseorang yang tidak lagi ditentukan berdasarkan baik-buruknya perilaku seperti pada masyarakat pedesaan, melainkan ditentukan oleh kemampuan bekerja atau prestasi kerja serta pemilikan harta benda (Ningsih dkk, 2009). Tata nilai tersebut dapat mendorong mereka untuk bekerja dan memiliki karir
yang baik sehingga mereka mendapatkan penghargaan. Simmel (dalam Daldjoeni, 1997) melukiskan bahwa individu pada masyarakat kota sebagai individu yang cenderung mencari privacy, berhubungan dengan orang lain hanya dalam peranan-peranan yang khusus saja, dan menilai segalanya dari standar uang. Seluruh barang dan jasa di perkotaan dinilai menggunakan uang, sehingga materi menjadi sangat penting. Budaya perkotaan seperti ini berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian mandiri pada masyarakatnya di mana mereka memiliki semangat bekerja yang tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, karena melalui pekerjaan tersebut maka akan ditentukan pula status sosial dan kesejahteraan hidup mereka.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian yaitu: 1) sebagian besar lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan memiliki tipe kepribadian konstruktif; 2) angka kejadian depresi pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan sangat tinggi; 3) tipe kepribadian konstruktif bukan merupakan faktor resiko kejadian depresi tetapi justru mengurangi kejadian depresi (protektif) pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan; 4) tipe kepribadian mandiri merupakan faktor resiko kejadian depresi (5,13 kali lebih beresiko dibandingkan tipe kepribadian konstruktif) pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan; 5) tipe kepribadian kritik diri merupakan faktor resiko kejadian depresi (6,25 kali lebih beresiko dibandingkan tipe kepribadian konstruktif) pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pasuruan; 6) secara berurutan, tipe kepribadian yang paling beresiko terhadap kejadian depresi adalah tipe kepribadian mandiri, kritik diri dan konstruktif.
Saran yang dapat diberikan yaitu: 1) perawat dan petugas panti diharapkan mampu mengenali tipe kepribadian masing-masing lansia sehingga dapat menerapkan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan tipe kepribadian tersebut untuk mencegah depresi pada lansia; 2) panti diharapkan dapat semakin mendorong keterlibatan lansia dalam kegiatan panti dan menambah variasi kegiatan-kegiatan yang telah ada. Dengan adanya berbagai kegiatan bersama tersebut maka akan menambah kesempatan bagi para lansia untuk dapat berinteraksi sosial, tetap aktif dan produktif, dapat mempertahankan kemandirian, dan meningkatkan kepercayaan diri sehingga akan dapat mendorong lansia ke arah kepribadian yang konstruktif; 3) panti diharapkan dapat melakukan pembinaan secara khusus pada lansia depresi dan mendorong lansia-lansia tersebut ke arah yang lebih konstruktif.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, M. 2008. Aspek Legal Konstitusional Lansia Indonesia. http://madib.blog.unair.ac.id/elderly-people/lansia/. Diakses tanggal 7 Oktober 2010.
Atkinson, R.L., Atkinson, E.C., Smith, E.E., Bem, D.J. 1991. Pengantar Psikologi. Jakarta: Interaksara.
Besser A, Flett G, Davis R. 2003. Self-criticism, Dependency, Silencing the Self, and Loneliness: a Test of a Mediational Model. http://www.sciencedirect.com. Diakses tanggal 15 Februari 2011.
Buckwalter, K. 2007. Depresi dan Bunuh Diri. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Cokro, C., Sutarto, J. 2008. Pensiun Bukan Akhir Segalanya: Cara Cerdas Menyiasati Masa Pensiun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Daldjoeni, N. 1997. Seluk Beluk Masyarakat Kota. Bandung: Alumni.
Damayanti, D. 2007. Hubungan Dukungan Keluarga dan Koping Lansia dengan Depresi pada Lansia di Kelurahan Oro Oro Ombo Kecamatan Kartoharjo Madiun. eprints.undip.ac.id. Diakses tanggal 30 Agustus 2010.
Djaali. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Enns, M., Cox, B. 1997. Personality Dimensions and Depression: Review and Commentary. Can J Psychiatry vol 42.
Fan, M.Y., Young, Y. 2002. Social Interaction and Depression among Older Adults. http://gateway.nlm.nih.gov. Diakses tanggal 13 Februari 2011.
Gilbert, P., Baldwin, M., Irons, C., Baccus, J., Palmer, M. 2006. Self-Criticism and Self-Warmth: An Imagery Study Exploring Their Relation to Depression. Journal of Cognitive Psychotherapy: An International Quarterly vol 20.
Gilbertson, T. 2010. Self-Esteem vs. Self-Criticism. http://www.goodtherapy.org. Diakses tanggal 18 Februari 2011.
Hall, L. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius.
Handayani, Y. 2008. Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang Mengalami Masa Pensiun. library.gunadarma.ac.id. Diakses tanggal 14 Februari 2011.
Hendrizal. 2010. Lansia & Agenda ke Depan. http://www.hupelita.com/baca.php?id=45106. Diakses 28 Agustus 2010.
Hurlock, E. 1995. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Irwanasir, R. 2009. Kondisi dan Permasalahan Penduduk Lansia. http://www.komnaslansia.or.id. Diakses tanggal 12 April 2010.
Kuntjoro, Z. 2002. Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. http://www.e-psikologi.com/epsi/lanjutusia. Diakses tanggal 14 April 2010.
Kuntjoro, Z. 2002. Memahami Kepribadian Lansia. http://www.e-psikologi.com/epsi/lanjutusia. Diakses tanggal 14 April 2010.
Lubis, N. 2009. Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana.
Mangoenprasodjo, A., Hidayati, S. 2005. Mengisi Hari Tua dengan Bahagia. Yogyakarta: Pradipta.
Mariani dan Kadir, S. 2007. Panti Werdha Sebuah Pilihan. http://subhankadir.wordpress.com. Diakses tanggal 8 Oktober 2010.
McCallion. 2008. Depression and the Elderly. www.albany.edu/aging. Diakses tanggal 15 Oktober 2010.
Medicastore. 2008. Depresi Pengaruhi Kualitas Hidup Lansia. www.medicastore.com. Diakses tanggal 13 April 2010.
Pulungan, N. 2007. Hubungan antara Harga Diri dan Dukungan Sosial dengan Depresi pada Lansia. http://etd.ugm.ac.id. Diakses tanggal 15 Februari 2011.
Puspasari, Y. 2008. Hubungan antara Dukungan Sosial Teman dengan Tingkat Depresi pada Lanjut Usia di Panti Werdha Budhi Dharma Yogyakarta. eprints.undip.ac.id. Diakses tanggal 16 Januari 2011.
Relawati, A. 2010. Hubungan antara Tingkat Depresi dengan Interaksi Sosial pada Lansia di Panti Werdha Dharma Bhakti Surakarta. http://etd.eprints.ums.ac.id. Diakses tanggal 15 Januari 2011.
Santoso, A., Lestari, N. 2008. Peran Serta Keluarga pada Lansia yang Mengalami Post Power Syndrome. Media Ners, Volume 2, Nomor 1, Mei 2008, hlm 1-44.
Sari, S. 2010. Penyesuaian Diri Lanjut Usia di Panti Werdha. repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 15 Maret 2011.
Stanley dan Beare. 2006. Buku Ajar keperawatan. Gerontik edisi 2. Jakarta: EGC.
Strawbridge, W., Deleger, S., Roberts, R., Kaplan, G. 2002. Physical Activity Reduces the Risk of Subsequent Depression for Older Adults. aje.oxfordjournals.org. Diakses tanggal 14 Februari 2011.
Suninggar. 2008. Pengaruh Irama Musik Tradisional Jawa terhadap Penurunan Skor Depresi pada Lansia. Tugas Akhir. Tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Syamsuddin dan Cholil, H. 2008. Penguatan Eksistensi Panti Werdha di Tengah Pergeseran Budaya dan Keluarga. http://www.depsos.go.id. Diakses tanggal 23 Maret 2010.
Tira. 2010. Lansia Sehat, Produktif dan Bermakna. http://yanrehsos.depsos.go.id. Diakses tanggal 3 September 2010.
Yerly, A. 2009. Kebijakan Komnas Lansia. www.komnaslansia.or.id. Diakses tanggal 15 Oktober 2010.
Yusuf, S. 2002. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar